Kamis, 05 Juli 2012

Puasa untuk Rakyat


Oleh. Shodiq Adi Winarko
Berpuasa menjadi ibadah rutin yang dilakukan kaum muslimin se-dunia tiap tahunnya, namun bukan berarti puasa tidak boleh dilakukan non-muslim. "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa." Inilah ayat utama dalam Al Quran yang menjadi landasan kewajiban menjalankan puasa Ramadhan.
Menurut Asghar Ali Engineer, makna "orang beriman" tak hanya diidentikkan pemeluk keyakinan agama tertentu. Meski kewajiban puasa yang dimaksud ayat itu ditujukan pada umat Muhammad SAW.
            Puasa dalam kelanjutan ayat di atas memfokuskan objek pembahasannya bagi kaum sebelum Nabi. Semua Nabi dan Rasul membawa titah puasa, meski tak sama mekanisme dan waktu pelaksanaannya. Maka, dapat diartikan bahwa puasa tak hanya dimiliki umat Muslim. Puasa milik semua umat.
            Inilah mengapa puasa dapat dijadikan sebuah momentum untuk merajut kebersamaan antarumat beragama, terutama rakyat Indonesia.
Untuk Rakyat
Puasa merupakan salah satu bentuk peribadatan yang masih menyimpan banyak misteri. Ahli spiritualitas Muslim terkemuka, al-Ghazali (wafat 1111 M) dalam Rahasia Ibadah Puasa membahas, mengapa puasa menyimpan banyak misteri. Melalui Rasulullah SAW, Allah SWT berfirman, Setiap perbuatan baik mendapat pahala sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang menentukan pahalanya.
Hadis Qudsi ini menunjukkan, di antara keistimewaan puasa, dibandingkan dengan ibadah lain, terletak pada pahala atau implikasi positifnya. Pahala puasa ditentukan oleh Allah dan manusia tidak ikut andil di dalamnya.
Kapan puasa bisa mendatangkan hikmah yang sesuai harapan manusia? Ketika dijalankan secara baik, secara syariat (dengan meninggalkan makan, minum, merokok, dan koitus dari fajar hingga matahari terbenam) ataupun hakikat (meninggalkan perkataan dan perbuatan tercela).
            Namun masalahnya, adakah dampak puasa bagi jalinan kebersamaan antarumat beragama? Padahal jika puasa dijalankan secara hakikat dan hikmat, maka akan menampilkan "wajah" dan "sifat-sifat" Tuhan pada para pelakunya, sedangkan puasa yang dijalankan "hanya" secara syariat saja belum tentu sampai pada maqam (tingkat) demikian.
Nabi bersabda, "Betapa banyak orang yang menjalankan ibadah puasa, tetapi tidak menghasilkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga." Bisa dipahami, meski di negeri ini mayoritas penduduknya menjalankan puasa, tidak berarti orang baik-baiknya mayoritas juga. Masalahnya, begitu banyak orang berpuasa namun maksiatnya tetap jalan, lantas bagaimana kita menyikapinya? Mengherankan.
Artinya, menjalin kebersamaan ummat beragama dengan berpuasa dapat saja diraih, asalkan dijalankah secara hakikatnya yang pasti. Mereka yang menjalankan puasa secara hakiki akan meraup hikmah memancarkan "wajah" dan "sifat-sifat" Tuhan. Salah satu sifat Tuhan, seperti ditegaskan dalam doktrin Islam, adalah rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta) atau dalam doktrin Kristiani sebagai "penyebar kedamaian dan kesejahteraan di Bumi".
Setiap pemeluk agama yang menjalankan agamanya, seyogianya bisa mengaktualisasikan sifat Tuhan itu. Dalam konteks kebersamaan, tanpa memandang perbedaan agama, seharusnya sifat kasih Tuhan itu juga dimanifestasikan dalam bentuk toleransi, saling menghormati, bahkan saling menyayangi.
Inilah inti dari adanya hikmah berpuasa, yakni upaya manusia untuk menuju kehidupan yang makin sesuai dengan fitrahnya, yaitu jati diri yang dikehendaki dan/atau yang sesuai sifat belas kasih Tuhan. Itu sebabnya, mengapa seusai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, umat Islam merayakan Idul Fitri (hari kemenangan bagi kembalinya manusia pada fitrah).
Dalam Idul Fitri, umat Islam juga diwajibkan membayar zakat fitrah (sedekah yang harus dikeluarkan sebagai tanda kasih sayang sesama umat). Semakin dekat manusia pada fitrah, semakin ia menyadari adanya kesamaan antarmanusia; semua manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.
Perbedaan yang ada pada diri manusia hanya atribut lahiriah, yang dalam perspektif keyakinan agama disebut syariat. "Syariat" berasal dari bahasa Arab yang artinya "jalan". Jalan yang ditempuh antara pemeluk agama yang satu dan yang lain bisa saja berbeda. Namun, tujuannya sama, Tuhan. Puasa adalah salah satu jalan menuju Tuhan, siapa pun bisa melakukannya.
Maka, dalam kondisi maraknya kasus kerusuhan antarumat beragama di Jakarta, seyogjanya puasa dapat dijadikan solusi alternatif. Sebuah jalan yang mampu merekatkan tali persaudaraan segenap rakyat, khususnya rakyat Indonesia, mengingat nilai-nilai positif yang dikandungnya.

Selasa, 29 Mei 2012

Hmi? Bubarkan Saja


oleh: Hairus Soleh
Abstak

HMI kini telah“murtad” dari dirinya sendiri. Ia bukan lagi HMI, tetapi terdapat sosok lain yang menjelma ke dalam tubuhnya sehingga ia tampak sebagai HMI. Hmi ini harus segera dibubarkan. Kemudian, pungut kembali sisa puing-puingnya yang masih suci, untuk kembali ditegakkan sebagai HMI yang sesungguhnya. Sehingga tercapai makna lambang jantung yang tertera pada lambangnya, yang tidak hanya menjadi kampus kedua, tetapi menjadi jantung intelektual Islam dunia.

Sebuah Pengantar
Pada awalnya penulis menolak ketika saudari Lyna menawarkan untuk berpartisipasi pada lomba esay “HMI sebagai Kampus Kedua”. Namun, terlintas di benak bahwa sebagai kader HMI, penulis mempunyai kewajiban untuk selalu memberikan yang terbaik untuk oraganisasi yang telah merangkul dan memberikan impian yang begitu besar.
Ada hal yang tidak seharusnya terjadi pada tubuh HMI. Hal itu yang menjadikan penulis tak ingin mendekat secara lahiriah kepadanya, tetapi terus mengikuti dari kejauhan sana. Hal yang dimaksud di sini ialah hmi yang berorientasi pada kekuasaan (politik). Penulis melihat di tubuh hmi itu terjadi perebutan kekuasaan yang begitu dahsyat. Akibatnya, ia pun berubah wujud menjadi oraganisasi politik yang berkedok Islam.
Seperti halnya kanca perpolitikan, di sana antara satu dan yang lainnya saling menikap, membunuh dan bahkan mencincang tubuh yang sudah terbunuh itu. Kecurigaan terus melanda seluruh eleman anggota. Penulis bisa pastikan, kalau di tubuh hmi terus terjadi demikian, ia akan pecah bekeping-keping dan akhirnya hancul melebur bersama kepentingan pribadi dan sekte-sekte bersangkutan.
Tulisan ini adalah ungkapan perhormatan –yang mungkin tidak sesuai dengan kriteria lomba- kepada HMI, dari kader HMI yang sedang merindukan hmi yang sesungguhnya, hmi yang dipuja, hmi dambaan dan harapan seluruh umat manusia. Bahwa penulis ini tercengang melihat kiprah hmi tahun 60an. Bahwa mengakui hmi sebagai satu-satunya oraganisasi keIslaman terbesar, terhebat dan teragresif dalam menyuarakan pembaharuan dan pelurusan pemahaman keIslaman di seluruh dunia. Dan itu memang terbukti dengan kiprahnya dikanca internasional pada waktu itu.
Penulis berkeinginan suatu setelah lomba ini, akan muncul “Muhammad” baru sebagai penyelamat hmi untuk merebut kembali intelektualitas yang agung itu. Dengan demikian, hmi tidak hanya sebagai kampus kedua, tetapi menjadi pusat intelektual umat manusia di seluruh jagat raya. Penulis sudah merindukan kalimat “kalau belum menjadi kader HMI, jangan mengaku akademisi dan intelektual”. Artinaya, hmi di sini menjadi rujukan utama pemikiran, menjadi inspirasi umat yang terus memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih maju.


Hmi? Bubarkan Saja
Meluruskan Makna HMI
Suatu ironis, bahwa banyak anggota, baik kader maupun petinggi HMI menginterpretasikan hmi itu sebagai organisasi politik, tempat ajang perebutan kekuasaan. Hal itu tampak terimplentasi pada praktek kinerja yang terus berorientasi pada kekuasaan. senioritas hmi tidak lagi mengarah pada intelektualitas, tetapi lebih pada kepentingan-kepentingan yang terselubung. Perspektif ini tidak lah benar, tidak sesuai dengan fitrah HMI.
Penyimpangan tersebut bisa dilihat dari barbagai sudut pandang. Berdasarkan lambang hmi misalnya. Filosofi lambang HMI secara universal dapat dirangkum bahwa hmi merupakan organisasi intelektual yang tetap optimis dalam memperjuangkan kejayaan umat Islam seluruh umat dunia melalui intelektualitas –ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi- yang tetap mempertahankan keIslaman, ketauhidan (ketuhanan), dan tetap beriman kepada tuhan yang maha esa, sehingga menjadi pusat kehidupan manusia pada umumnya.
Lambang merupakan suatu simbol. Simbol itu sendiri merupakan suatu reduksi dari keseluruhan apa yang mencakup seluruh aspek HMI yang begitu kompleks. Simbol ini merupakan salah satu acuan kader-kader atau anggota hmi dalam menjalankan gerbong HMI yang agung. Sebagai acuan, ia harus menjadi simbol suci yang harus dipatuhi dan ditaati sebagai pengikut setianya.
Di dalam simbol itu pula, terdapat suatu keterpaduan dari seluruh aspek yang ada di dalamnya. Kalau diejawantahkan ke dalam ranah yang simpel, dapat dikatakan sebagai hubungan saling mengikat erat antara iman Islam dan ihsan, serta keterpaduan ujud antara iman, ilmu dan amal.
Juga visi dan misi hmi
Kemudian Nilai Dasar Perjuangan (NDP) pun juga sudah memberikan gambaran yang cukup gemilang kepada kita untuk terus menjalankan HMI sesuai dengan substansinya. Pokok mendasar yang diperjuangkan HMI dalam intelektualitasnya ialah berkisar pada pemahaman terhadap substansi manusia itu sendiri yaitu manusia sebagai “insanul kamil” (meminjam istilah Suhrawardi), khalifah dalam istilah Cak Nur, sehingga manusia mempunyai tanggung jawab yang begitu besar pada alam ini dan juga tidak lepas dari hubungan dengan yang Maha Esa –Allah- sebagai kebenaran tertinggi yang mutlak sesuai dengan ajaran Islam.
Ulasan di atas berorientasi pada penyadaran manusia dari keterpurukan, yaitu kemunduran yang diawali dari kemunduran berpikir umat Islam. Maka HMI bangkit sebagai pahlawan yang mengembalikan semangat umat Islam untuk menggunakan akal budinya secara baik dan benar sesuai dengan tuntunan Islam dan tuntutan zaman.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka pembahasan akannya harus terus dimodifikasi, diperbaharui dan dikaji dengan gaya pandangan yang berbeda yang sesuai dengan zaman itu. Dengan demikian, kajian akan manusia, keIslaman dan alam tetap menarik dan diterima umat. Keadaan ini tidak bisa dicapai dengan politik, tetapi ketekunan dan kader HMI dalam menggali solusi baru yang tentunya hanya bisa didapat dari bacaan, pengalaman, kajian dan kegiatan keilmuan lainnya.
HMI di Persimpangan Waktu
Kebesaran HMI tidak luput dari perjuangan keras dan panjang, mengingat visi dan misi yang dikibarkan HMI yang sangat agung, membebaskan umat Islam dari keterpurukan dan kejumutan akan Islam itu sendiri.
Hal yang juga menarik ialah bahwa suasanan keIslaman dunia, sebelum beridirinya HMI memang mengalami kemerosotan yang begitu signifikan. Pemikiran umat Islam yang kolot, terbelakang pun tampak di berbagai belahan penjuru umat Islam seluruh dunia. Di indonesia sendiri penjajah Belanda yang terus menggorogoti sendiri-sendi bangsa, zending agama kristen terus menyerbu muslim sekaligus dibarengi dengan penyusupan peradaban baran (sekularisme dan liberalisme) pada seluruh sistem bangsa termasuk juga sistem pendidikan.
Keadaan ini menjadikan umat Islam berada pada posisi sangat memprihatinkan. Di mana sebagian besar umat Islam yang melakukan ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan (perkawinan dll.), para ulama ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw (Islam koservatif), golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja. Dan golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.
Pada saat keadaan seperti itu, lahir dari golongan terkecil itu dengan tujuan untuk merombak seluruh kekolotan pemikiran dan pandangan Islam tsb. dan digantikan dengan Islam modern, dan maju.
Dari sini lah tampak bahwa hmi didirikan bukan untuk kekuasaan, popularitas dan kepentingan pribadi, tetapi jauh dari itu ia dilahirkan sebagai gerbong raksasa yang siap membawa umat Islam pada kegemerlapan pemikiran yang tangguh. Hmi ini yang pada periode berikutnya mampu memberikan gembarakan bahwa Islam itu benar-benar ada, mampu melintasi dan menaklukkan tantangan zaman. Hal  ini jelas nilai positif bagi umat Islam yang mampu merubah pandangan umat luar yang menilai Islam sebagai agama kuno yang tak berdaya.
Tetapi untuk menggapai kejayaan, pejuangan HMI tidak lah mulus dan mudah seperti yang dibayangkan. Dalam perjuangan itu, HMI sudah mengorbankan banyak tenaga. Tidak hanya pikiran dan tenaga, bahkan nyawa pun menjadi taruhan demi tercapainya cita-cita di atas. Ini terbukti dari keikut sertaan HMI dalam mempertahankan NKRI, yakni membebaskan indonesia dari cengkeraman penjajahan Belanda yang dinilai sebagai penghambat perjuangan. Pasukan yang dibentuk hmi dalam memberantas belanda pada waktu itu ialah Corps Mahasiswa (CM) yang bersama pemerintah berhasil menumpas pemberontakan PKI di Madiun.
Ini berarti bahwa HMI merupakan organisasi murni perjuangan untuk umat Islam dan bangsa. Dalam perjuangan yang sangat dibutuhkan ialah suatu kesabaran dan kekokohan demi menggapai kemajuan umat. Di samping itu juga butuh pengorbanan yang besar dan tidak untuk mengambil keuntungan yang besar.
Intelektual HMI Yes, Politik HMI No
Penulis sangat tertarik dengan ungkapan Anas Urbaningrum, bahwa satu hal yang membedakan antara HMI dengan organisasi lain, yaitu intektualitas. Sehingga aspek satu ini menjadi aspek yang begitu penting untuk terus dipertahankan. Intelektualitas merupakan ujung tombak kemajuan HMI yang terbukti pada masa keemasannya, yaitu hmi yang dipuja dan menjadi pahlawan umat Islam dunia dan bangsa indonesia itu sendiri.
Tradisi intelektual ini bisa dibangun dengan memperkuat beberapa hal. Pertama, memperkuat tradisi membaca (membaca sebagai kewajiban setelah shalat). Kedua, memperkokoh tradisi menulis (dalam  artian bukan menulis status facebook, twitter dan sms, tetapi menulis ilmiah), dan ketiga, adalah tradisi berdiskusi.
Dalam sejarah HMI, memang yang cukup mendominasi keemasannya ialah intelektualitas. HMI tidak akan mencapai suatu visi dan misi sebagai pembaharu umat kalau intelektualitasnya rendah. Kalau intektualitas yang telah memberikan kemegahan dan daya tarik tersendiri pada HMI, tidak lah wajar kalau intelektualitas ini harus ditinggalkan, apalagi digantikan dengan politik yang tidak jelas arahnya.
Sudah jelas bahwa kemuduran HMI kali ini atau akhir-akhir ini termasuk HMI Ciputat, itu disebabkan karena perhatian pengikut HMI terhadap intelektual terus menurun drastis. Para pengikutnya lebih memilih politik ketimbang intelektual.
Faktanya bahwa politik yang sekarang menjadi tren aktivis terbukti tidak menjanjikan. Bahwa politik merupakan jalan yang membahayakan organisasi intelektual. Karena terdapat perbedaan yang signifikan dalam tatacara dan tujuan akhir keduanya. Kalau intektual menggunakan cara yang ramah, ilmiah, jujur dan demi kepentingan masyarakat banyak. Sedangkan politik melaju dengan cara adudomba, tidak jujur, kejam dan demi kepentingan pribadi atau kelompok kecil.
Konsekuensinya, bahwa intelektual akan berusaha menyatukan perbedaan sedangkan politik akan memecah belah satu kesatuan pada organisasi itu, karena terus dihantui dengan kepentingan lokal.
Masyarakat indonesia pada umumnya sedang mengalami degradasi pemikiran. Bangsa indonesia sedang membutuhkan suatu pencerahan dari para pembaharu. Bahwa masyarakat indonesia termasuk mahasiswa sedang kebingungan mencari wadah pembaharuan pemikiran mereka. Bahwa mereka telah kehilangan HMI yang pernah menyelamatkan mereka dari keterpurukan. Maka mengapa HMI malah asyik dengan sendirinya bermain politik.
Keberadaan HMI adalah ketiadaannya, jika ia terus terkungkung dengan ranah politik praktis. Politik adalah pisau bunuh diri bagi HMI. Dengan alasan bahwa politik itu dipenuhi berbagai kepentingan pihak tertentu. Politik sebagai suatu lahan perebutan kekuasaan yang menghalalkan segalanya. Cenderung licik, perhitungan (harus ada take and give). Lawan menjadi teman kalau menguntungkan, kawan menjadi musuh kalau tidak bisa diajak untuk membantu merebut kekuasaan. Sehingga politik bertendensi membawa HMI keluar dari jati dirinya.
Pada keadaan ini, hmi hanya berposisi sebagai topeng, hanya sebagai alat dan budak untuk menggapai kepuasan pribadi dan kepentingan sekte-sekte dalam tubuh hmi. Jadi ia pun pada hakikatnya bukan lagi sebagai hmi tetapi dalam kedok hmi. Orang-orang tidak akan tahu tentang hal ini. Maka keadaan ini akan sangat merugikan hmi. Sehingga hmi pada keadaan yang seperti ini harus segera dibubarkan.
Tetapi maksud dari penjabaran di atas, buka berarti HMI harus benar-benar tidak berpolitik sama sekali. HMI tetap berpolitik dengan tidak menghilangkan substansi perjuangannya. Bahwa yang lebih diprioritaskan ialah intelektualitas untuk menyelamatkan umat dari kejumutan. Bahwa politik itu hanyalah sebagai jalan atau alat agar intelektualitas tetap melaju dengan cepat.
Menyadari Keterpurukan Kancah Perpolitikan
Sebagi pertimbangan pula. Bahwa citra politik, sekarang sedang berada dalam keterpurukan. Politik negara ini sudah terbukti tidak manis. Terbukti gombal, tidak lurus, tidak benar dan demi kepuasan belaka.
Sudah terlalu banyak kekecewaan masyarakat terhadap politik. Kekecewaan itu tidak hanya tampak pada masyarakat terpelajar saja, tetapi jauh pada masyarakat kecil –petani, pemulung, pengamen, dst.- yang tidak berpendidikan pun juga demikian. Ini membuktikan bahwa betapa terpuruknya politik pada saat ini.
Politik yang berkembang pada saat ini merupakan politik yang keluar dari ranah politik yang sebenarnya, di mana politik bertujuan untuk menggapai tujuan kebaikan masyarakat pada umumnya. Tetapi politik merupakan suatu ajang merengut kekuasaan sebanyak mungkin yang pada akhirnya berujung pada kekayaan. Bahwa segala langkah dan keputusan politik tidak lagi berpihak kepada masyarakat, tetapi berpihak kepada mereka yang memberikan keuntungan besar. Pada posisi ini masyakat hanyalah sebagai iming-iming untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.
Praktek politik publik ini jelas akan mendoktrik permainan politik pengikut HMI (yang pada umumnya mahasiswa). Langkah-langkah perpolitikan kaum pemerintahan itu akan direimplementasikan oleh mahasiswa pada ranahnya. Sehingga politik seperti ini akan menggoncang dan mencemarkan nama baik HMI. Bahwa masyarakat akan terus menilai gerakan HMI, bahwa masyarakat akan mengklaim HMI sebagai organisasi buruk kalau ia tampak sebagai organisasi politik.
Kembali pada Kesucian
Dalam keadaan seperti itu, hanya ada satu jalan untuk menyelamatkannya dari keterpurukan, yaitu kembali pada kesucian.
Kesucian yang dimaksud ialah bahwa HMI harus kembali kepada nilai perjuangannya. Yaitu kembali memperjuangkan intelaktualitas. Sehingga harus kembali memupuk pengetahuan seluas mungkin demi terciptanya HMI yang kritis dan mampu membawa umat pada pembaharuan, pembaharuan dan pembaharuan tanpa henti pada satu titik tertentu.
Kajian tentang manusia dan keIslaman harus tetap ditingkatkan. Ada hal yang perlu sebagai catatan buat kader (anggota HMI) bahwa HMI marupakan organisasi keIslaman yang membawa visi dan misi untuk memajukan, memperbaharui dan memberikan titik terak pemisahan antara pemikiran Islam dan non Islam. Ia lah oraganisasi yang bertugas untuk menunjukkan kebesaran pemikiran Islam. Tetapi ironisnya, kader HMI cenderung mengisinya dengan pemikiran non Islam yang juga dijadikan rujukan utama dan tidak dikonfrontasikan dengan Islam. Mereka cukup pada pemikiran barat saja, atau lebih fokus pada pemikiran barat.
Kalau seperti seperti itu kenyataannya, HMI pun juga beralih visi dan misi, dari memperjuangkan pemikiran Islam –agar umat Islam sadar dan kembali pada kemegahan pemikiran Islam- menjadi memperjuangkan non Islam, sehingga memaksa muslim untuk menyadari kebesaran non Islam. Konsekuensinya umat Islam semakin tidak berdaya karena tidak percaya diri pada dirinya sendiri.
HMI, Hidup dan Mati Mahasiswa
Dengan demikian, HMI akan menjadi idaman seluruh umat, lebih-lebih mahasiswa yang memang haus akan pemikiran. HMI sebagai gembong terbesar intelektual akan terus dicari para akademisi. Dengan sendirinya mereka akan datang berbodong-bondong untuk memohon bergabung untuk mengorek keilmuan yang ada di HMI.
Mereka, akademisi, terus berlomba-lomba menggoreskan jasa pada HMI dan akan terus dikenang sampai akhir hayat. Ini adalah suasana HMI tidak hanya menjadi kampus kedua, tetapi telah berperan sebagai pusat intektual jauh di atas kampus. Ia adalah organisasi dambaan akademisi dan umat yang berkedudukan di atas segalanya.

Catatan: Hmi pada tulisan ini dibagi menjadi dua. Pertama, hmi yang bukan sebenarnya. Dengan maksud bahwa hmi itu hanya sebagai kedok saja yang di dalamnya berisi yang lain. Biasanya hmi yang seperti ini ditulis dengan sebagian huruf kecil atau dengan huruf kecil semua (tidak dengan huruf besar semua), misalnya Hmi atau hmi. Hmi ini yang diseru agar dibubarkan.

Minggu, 27 Mei 2012

HMI is Our’s


oleh: Nur Hanisah (Pemenang Lomba Penulisan Esai-KOMFUF AWARDS 2012)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri pada 5 Februari 1948. Kini, 64 tahun sudah usia HMI. Sebagai sebuah organisasi pengkaderan, HMI telah teruji dan mendapat pengakuan baik dari dalam maupun luar negeri. Dalam rentan waktu yang cukup panjang HMI melahirkan kader-kader berkualitas diberbagai bidang. Mereka pun mewarnai setiap lini dan aspek kehidupan bangsa ini.
Dalam lintas sejarah, HMI memiliki fase-fase penting. Jika ditilik dari tahun berdirinya, yakni masa-masa awal pasca kemerdekaan, HMI terlibat langsung dengan penjajahan yang masih bercokol di Indonesia. Sehingga banyak pendapat yang mengatakan bahwa berdirinya HMI adalah sebagai upaya untuk menjaga kesatuan NKRI. Selain terlibat kontak langsung dalam mengusir penjajah –Belanda-, HMI juga terlibat kontak dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada September 1948. Konflik tersebut memuncak pada tahun 1965. Sehingga muncul jargon yang didengungkan PKI, “Ganyang HMI”.
Pada perjalanan selanjutnya (antara tahun 1960-1970an), HMI digadang-gadang sebagai pioner dari gerakan pembaruan pemikiran Islam Indonesia. Gagasan Nurcholish Majid kala itu seperti bom yang memberi ledakan diskursus pemikiran Islam. Setelah mengoritkan Nurcholish Majid dengan ide pembaruan Islam, HMI tidak berhenti berkontribusi bagi umat dan bangsa. HMI kemudian terlibat dalam partisipasi pembangunan bangsa. Banyak kader-kader HMI yang duduk di kursi pemerintahan. Fakta tersebut dapat kita saksikan hingga saat ini.
Pada umumnya, tokoh yang terlahir dari HMI mengasah wawasan serta kemampuannya berfikirnya ketika menjalani studi di perguruan tinggi/kampus. Aktivitas yang mereka jalani tidak hanya dibangku kuliah. Lebih dari itu, mereka mencurahkan waktu aktivitasnya diberbagai forum diskusi dan organisasi ekstra kampus. Dari sinilah karekter dan kepribadian masing-masing mereka terbentuk.
HMI Cabang Ciputat dan UIN Jakarta
Selain sebagai organisasi pengkaderan, HMI juga dikenal sebagai organisasi kemahasiswaan. Pengaruhnya sebagai organisasi ekstra kampus cukup kuat dalam membentuk dinamika kemahasiswaan. HMI seakan memberi “pesona” bagi mahasiswa yang melihatnya. Inilah yang membuat HMI disebut sebagai mitra perguruan tinggi/kampus.
Dalam konteks kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, keberadaan kader-kader HMI secara kuantitas tidak diragukan lagi. Mereka terdiri dari mahasiswa dan dosen, atau yang disebut KAHMI (Korps Alumni HMI). Kader HMI di UIN Jakarta tergabung dalam komisariat yang dibentuk di tiap-tiap Fakultas. Semua komisariat tersebut berada dibawah naungan HMI Cabang Ciputat. Selain menaungi komisariat yang ada di UIN, HMI Cabang Ciputat juga menjadi induk bagi komisariat yang ada di sekitar UIN seperti komisariat Universitas Pamulang, STIE Ahmad Dahlan, komisariat Bintaro dan Cirendeu.
Berbagai aktivitas kegiatan diselenggarakan anggota komisariat. Selain kegiatan Latihan Kader I yang menjadi agenda wajib dan trademark setiap komisariat, mereka juga kerap mengadakan kegiatan yang bersifat student need dan student interest. Kegiatan yang bersifat student need biasanya teraplikasikan dalam bentuk pelatihan, diskusi kelompok atau bahkan seminar terbuka. Kegiatan ini tidak dapat dipisahkan dari mahasiswa dan kader. Kegiatan tersebut adalah kebutuhan mutlak bagi mereka. Sementara kegiatan bersifat student interest biasanya dilakukan dalam bentuk perlombaan olahraga, kesenian dan pengembangan kerjasama lintas organisasi.
Keberadaan HMI Cabang Ciputat tidak dapat dilepaskan dari nama besar UIN Jakarta. Berbicara HMI Cabang Ciputat, maka berbicara UIN Jakarta pula. Tidak sedikit kader alumni HMI Cabang Ciputat yang menepati “pos-pos” strategis dilingkungan birokrasi UIN Jakarta. Sebut saja Komaruddin Hidayat yang sekarang menjadi Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra sebagai Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta dan masih banyak lagi nama-nama kader alumni HMI yang menjadi Dekan dan Pembantu Dekan disetiap Fakultas.
Disisi lain, kader HMI yang masih aktif sebagai mahasiswa juga menepati berbagai posisi penting di Senat Jurusan, Fakultas dan berbagai UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Dari sini, dapat dilihat betapa kuat sinergi yang terjalin antara kader dan alumninya. Hal ini tidak lain dilakukan untuk tetap menjaga proses pengkaderan HMI itu sendiri.
Menjadikan HMI sebagai Kampus Kedua
Dalam setiap Latihan Kader, selalu disampaikan dengan tegas bahwa kader adalah tulang punggung organisasi. Secara moral, kader HMI diberikan tanggung jawab untuk menjaga kelestarian HMI itu sendiri. Sehingga sering muncul istilah “Totalitas dan loyalitas untuk HMI”, “kalo saja dada saya dibelah, maka darahnya yang mengalir akan membentuk tulisan HMI”. Masih banyak lagi istilah lain yang mengindikasikan kecintaan kader terhadap HMI.
Para kader menjadikan HMI sebagai wadah untuk mengaplikasikan bakat mereka. Mereka yang hobi berdiskusi membentuk forum-forum diskusi; yang hobi berolahraga membuat pertandingan olahraga antar kader komisariat lainnya; yang ingin mahir sebagai penulis membentu forum latihan menulis dan buletin-buletin sebagai wadah mengasah dan menyalurkan tulisannya. Tentu saja ini menjadi warna bagi aktivitas kader selain kuliah di kelas. Bahkan tidak jarang mereka lebih memilih aktivitas di HMI ketimbang harus masuk kuliah.
Penulis mengamati banyak aktivis HMI dalam soal kuliah ia “tertinggal” dengan teman sekelasnya. Namun perlu dicatat, bahwa mereka tidak bodoh atau malas, akan tetapi lebih memilih HMI sebagai masdar yang memberi banyak pengetahuan. Sehingga kapasitas intelektual aktivis HMI pun hampir diatas rata-rata dan tidak diragukan lagi.
Pilihan berkecimpung di HMI agaknya didasarkan pada sejarah, bahwa tokoh yang lahir dari HMI tidak “Jalan ditempat”, alias diam saja saat menjadi kader. Ketika menempuh masa studinya sebagai mahasiswa, mereka (tokoh-tokoh yang lahir dari HMI) terlibat aktif dalam forum-forum diskusi diluar kelas, dalam hal ini HMI. Pengalaman berorganisasi di HMI juga menjadi modal untuk diterapkan pada skala yang lebih besar. Maka tidak heran jika HMI menjadi second campus dan rumah kedua bagi kader-kadernya.

Senin, 21 Mei 2012

Perangsang Bernama NDP


Oleh: Maulana Ainul Asry*

“Jika memang kesuksesan para senior didapat dari aktivitas mereka di HMI, aktivitas itulah yang harus kita tiru”.
-M. Wahyuni Nafis

Jika ada yang bertanya organisasi kemahasiswaan apa yang paling tua dan berpengaruh di Indonesia, tanpa unsur berlebihan, barangkali sontak jawabannya ialah: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Namun kemudian pertanyaan muncul kembali: apa buktinya? Lebih lanjut dan paling diburu: apa yang menyebabkan itu?
Pertanyaan semacam inilah yang coba saya ungkap. Ini menjadi penting, sebab di tengah-tengah kemundurannya, mencari tahu pangkal penyebab keunggulan HMI merupakan tugas pokok para kader untuk kemudian menerapkannya, demi kemajuan kembali sang hijau hitam. Di akhir-akhir tulisan, saya akan mencoba memberi solusi kecil-kecilan terhadap kemunduran HMI saat ini.

Kiprah HMI
Pertanyaan pertama bisa kita jawab dengan menyebut nama-nama kader HMI yang sukses menggoreskan perannya hingga tingkat nasional, baik dalam dunia politik maupun jagad akademis. Tokoh-tokoh seperti Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, Ahmad Syafii Maarif, Jusuf Kalla, Din Syamsuddin, Akbar Faisal, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Bachtiar Effendy, serta sederet nama lain menjadi bukti dari peran HMI dalam skala nasional.
Dari itu, keberadaan HMI sebagai sebuah organisasi mahasiswa dapat dikatakan begitu memainkan peranan penting. Sejumlah nama-nama kadernya, seperti disebutkan di atas, membuat kita mengangguk seraya menepuk dada atas kecemerlangan ini. Berkaca pada sejarah, dapat kita telusuri torehan tinta emas HMI.
Seperti ditulis Agussalim Sitompul, latar belakang didirikannya HMI berkait erat dengan konteks zaman yang dialami para pendiri ketika itu. Terdapat tujuh alasan inti yang masing-masing menunjukkan itikad luhur mereka (Modul LK I HMI Cabang Ciputat 2011-2012).
-          Mempertahankan kemerdekaan.
-          Kejumudan umat terhadap pengetahuan mengenai ajaran islam.
-          Munculnya polarisasi politik.
-          Berkembangnya paham komunis.
-          Posisi strategis dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan.
-          Pluralitas sosial bangsa Indonesia.
-          Tuntutan modernisasi dan tantangan masa depan.

Di awal-awal terbentuk, peran sentral HMI sebagai organisasi ialah membantu Republik mempertahankan kemerdekaan. Saat masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, dimana kabut gelap membawahi suasana politik, HMI turut membantu pemerintah menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lazim dianggap sebagai dalang dibalik peristiwa Gerakan 30 September ketika itu.
Beranjak ke Orde Baru kiprahnya tak kunjung surut. Di masa inilah, bak jamur di musim hujan, lahir berbagai kader berkapasitas jempolan seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Saiful Mujani, Fachry Ali, serta nama-nama lain. Pasca Orde Baru performa kader HMI pun tetap menawan. Akademisi seperti Burhanuddin Muhtadi, Indra Jaya Piliang, hingga M. Alfan Alfian keluar mencuat ke permukaan.
Ke semua kiprah gemilang inilah yang menjadi bukti dari sinar HMI yang terus berpijar. Demikian besarnya aroma HMI dalam dunia akademisi, Yudi Latif bahkan menyusun disertasi yang menyiratkan peranan besar kader-kader HMI dalam ranah keilmuan. Tak cuma itu, dalam politik, jejak langkah HMI juga signifikan. Organisasi-organisasi kemahasiswaan lain yang selama ini dianggap musuh, nyatanya juga didirikan oleh aktivis HMI sendiri. PMII misalkan, didirikan oleh Mahbub Djunaedi yang ketika PMII didirikan masih menjabat sebagai wakil ketua HMI. IMM hampir sama. Para pendirinya, termasuk Amien Rais, ternyata juga seorang HMI (Latif, 2005). Selain itu masih ada KAMMI, yang jika dirunut ke belakang terdapat peran besar seorang Imaduddin Abdul Rahim, seorang tokoh HMI Bandung, dalam mengembangkan sayap-sayap organisasi mereka (Muhtadi, 2012).
Namun, seperti konsep hukum organismik sebuah negara menurut Aristoteles, sebuah organisasi pun mengalami hal sama. Dalam “fatwa”-nya, Aristoteles menyatakan bahwa tumbuh kembang sebuah negara sama halnya dengan perkembangan manusia. Negara lahir, tumbuh, berkembang, mengalami masa keemasan, mulai korup, hingga terbenam alias tumpur bin gagal menjaga kesejahteraan (Suhelmi, 2007).
Fenomena semacam ini, bagi saya, pun terjadi pada organiasi, termasuk HMI. Namun kita tak mesti tertunduk lesu. Masih dalam konsep Aristoteles, setelah terbenam, negara lahir dan bangkit kembali. Begitupun dengan organisasi. Setelah melempem bak ayam kehilangan taji, ia dapat tumbuh dan bangkit kembali.
Permasalahannya adalah, bagaimana mewujudkan revivalisme itu? Dan sebelum ke sana, mencari tahu penyebab kemajuan dan kemunduran HMI menjadi prioritas, agar dapat menjadi tolak ukur perkaderan di masa mendatang.


Formula NDP
            Pasca proklamasi kemerdekaan, mahasiswa kita terlihat aktif dalam politik. Kondisi semacam ini wajar, mengingat sedari awal peran pemuda kita begitu dominan berjuang demi kemerdekaan (Anderson, 1988). Menariknya, sikap seperti ini disertai dengan semangat keilmuan. Inilah yang menyebabkan begitu melesatnya kiprah pendahulu HMI.
            Beralih ke masa Orde Baru sedikit berbeda. Soeharto berhasil menjauhkan mahasiswa dari pusaran politik kenegaraan dengan diterapkannya NKK-BKK. Namun semangat keilmuan mereka tetap membara. Artinya, Soeharto hanya berhasil memutus tali keaktifan politik mereka, tetapi tidak dengan keaktifan di bidang keilmuan. Akibatnya, para kader lebih fokus pada keilmuan. Dalam lingkup Ciputat, dibuktikan dengan lahirnya berbagai forum kajian (Modul LK I HMI Cabang Ciputat 2011-2012).
            Ini semua membuktikan bahwa ghirah keilmuanlah yang mendorong HMI berjaya. Syukurnya, dengan ditetapkannya Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai “penunjuk arah” perjalanannya, seakan memberi “stempel” atmosfer keilmuan dalam diri HMI. Ia menjadi semacam penghambat laju sikap hedon di kalangan pemuda kita di tengah-tengah derasnya arus globalisasi. NDP, dengan metode dekonstruksi-rekonstruksi imannya, sejatinya telah merangsang daya nalar. Pasalnya, masalah agama dan keyakinan selalu sensitif untuk dibahas, hingga tak jarang memancing emosi para kader. Dalam keadaan emosi yang seperti inilah, sejatinya seseorang merasa penasaran, ingin tahu, hingga kemudian membaca dan mendalami keilmuan.
Sikap penasaran seperti ini yang pada dasarnya membantu ilmu pengetahuan berkembang. Maka sudah tepat, bila dalam LK I, aspek penilaian paling besar tersemat pada dimensi afektif, yakni perubahan sikap. Artinya, setelah mengikuti LK, para kader diharapkan terangsang untuk mencari tahu, bergulat dalam ilmu pengetahuan. Sementara aspek lain seperti kognitif dan psikomotorik masing-masing mendapat jatah 30 % dan 20 %, afektif diberi porsi 50 %.
            Uraian di atas setidaknya mampu menggambarkan penyebab masa keemasan perkaderan HMI. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang menyebabkan kita mundur? Jawabannya tiada lain: iklim politik yang demikian kental dalam tubuh HMI. Sebagai akibat, semangat keilmuan tak lagi jadi nomor satu. Di sinilah peran NDP sebagai “perisai” dipertanyakan. Mengapa ia tidak lagi bertaji?
            Terdapat jawaban sekaligus solusi sederhana yang bisa menjelaskan. Pertama, tersedia penyampaian materi yang lebih menarik peserta. NDP sebagai jantung dari perkaderan HMI tentu perlu disajikan lebih menarik. Metode penyampaian oleh pemateri menjadi penting, sebab di sinilah tolak ukur sukses atau tidaknya perkaderan. Jika pemateri gagal merangsang peserta, maka gagal pulalah perkaderan.
Kedua, menambahkan argumen sosiologis dalam menjelaskan NDP. Untuk kerangka teologis, substansi yang terdapat dalam NDP boleh dikata tak dapat diragukan. Tetapi ini juga tidak kalah penting, agar kader mengerti situasi sosial yang mereka hadapi sekarang seperti apa, mereka berada di posisi mana, dan harus berjuang dalam ranah apa. Kondisi sosial yang dihadapi Cak Nur di masanya, 41 tahun silam, tentu berbeda dengan yang kita hadapi sekarang. Apakah ini bisa dijelaskan hanya oleh kerangka teologis? Tentu tidak. Jika membaca naskah NDP, salah satu kekurangannya ialah tidak adanya kerangka sosiologis yang dipakai Cak Nur. Padahal, untuk sebuah gerakan sosial seperti HMI, ini tentu menjadi keharusan.
Ketiga, menetapkan tujuan atau lawan tanding. Sebuah gerakan sosial, tentu bergerak bukan tanpa landasan. Ia tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai. Ketika tujuan sudah jelas, itulah yang dengan sendirinya akan menentukan lawan tanding. Tujuan yang dimaksud bukan hanya yang tertera pada BAB III Pasal IV Angaran Dasar kita, tetapi menetapkan lawan tanding. HMI pada pasca kemerdekaan dan Orde Baru berhasil memainkan peranan ini. Ketika baru merdeka, tujuan jelas menyasar pada penjajah hingga kelompok berhaluan komunis. Ketika Orde Baru, “gelar” lawan disematkan Cak Nur pada gerakan Islam konservatif seperti Lembaga Mujahid Dakwah (LMD). Zaman kini, praktis tidak kita ketahui, dan memang tidak jelas siapa yang ingin kita tandingi.
Hal itu terjadi akibat terlalu kentalnya nuansa politis dalam diri Himpunan. Alih-alih ingin melawan kelompok di luar HMI, dalam diri HMI sendiri ironisnya terjadi faksionalisasi yang demikian akut. Contoh nyata dapat kita lihat saja di tingkatan lanskap kecil seperti komisariat. Kader berjuang tidak lagi demi perjuangan HMI itu sendiri, akan tetapi demi kelompok masing-masing. Jika sudah begini, menantikan kejayaan kembali HMI ibarat pungguk merindukan bulan.
Menciptakan iklim yang sehat secara akademis merupakan tugas pokok para pengurus dan kader, juga panitia di saat program-program pelatihan seperti LK berjalan. Perangsang bernama NDP terus memerlukan perbaikan. Pada titik inilah, itikad merawat dan memperbaiki Himpunan menjadi tugas pokok. Dengan mewujudkan ketiganya, HMI tidak saja berperan sebagai kampus kedua, namun malah bisa menjadi kampus pertama.


*Kader HMI KOMPERFISIP (Komisariat Persiapan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Cabang Ciputat, LK di KOMFUF (Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat), mahasiswa Ilmu Politik semester IV FISIP UIN Jakarta.

Reformasi 98: Proyek yang Tak Terselesaikan


Oleh Ali Topan DS (Ketua Umum HMI KOMFUF 2011-2012)
Pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Disusul tanggal 21 Mei sebagai Hari Reformasi. Kedua tanggal di atas menjadi bagian sejarah Indonesia, terlebih bagi para pelaku, actor gerakan reformasi 1998. Kini, 14 tahun sudah reformasi bergulir. Pasca reformasi, banyak pihak yang merasa diuntungkan dengan tumbangnya rezim otoriterianisme ala Pak Harto. Demikian juga sebaliknya, tidak sedikit yang mengecewakan reformasi karena Indonesia tetap “gini-gini aja”, jauh dari cita-cita reformasi.
Agenda reformasi 1998 sangat erat dengan upaya melengserkan Presiden Suharto dari tahta nya, sebagai orang nomor wahid di Indonesia. Menurut Ali Yafi, definisi reformasi cukup sederhana, Pak Harto turun. Nurchalis Majid, Abdurrahman Wahid dan Amin Rais adalah bagian dari kalangan tokoh bangsa yang turut mendesak turun Pak Harto. Hampir semua orang pintar –cendekiawan- bangsa ini pada waktu mengamini dan menginginkan hal itu.
Proyek reformasi 98 memang focus pada upaya penurunan Pak Harto dari jabatannya sebagai Presiden. Akan tetapi agenda atau proyek reformasi 14 tahun silam tidak sesederhana itu. Karena, jika dikatakan bahwa reformasi adalah upaya untuk menurunkan Pak Harto, maka agenda reformasi telah usai pasca 21 Mei 1998. Dimana kala itu ia (Pak Harto) secara resmi dan terbuka mengundurkan diri.
Beragam alasan dalam tuntutan turunnya Pak Harto. Praktik KKN barangkali yang menjadi alasan utama. Selain juga isu tentang kejahatan HAM, hanya, tampaknya kurang banyak disentuh. Kasus ini menjadi bagian dari proyek reformasi 98 yang harusnya diselesaikan pemerintah. Akan tetapi, mengenai praktik KKN, Pak Harto beserta seluruh keluarganya, kroni dan pengikutnya dibebaskan dari segala tuntutan hukum oleh Presiden periode SBY-JK.
Jika dilihat satu dari dua kasus diatas (korupsi dan kejahatan HAM), maka hari ini bangsa Indonesia agaknya berat untuk mengatakan “Reformasi telah selesai”. Mungkin yang ada adalah “Reformasi kita tak terselesaikan”. Persoalan atau kasus korupsi tidak kunjung lenyap dari mata dan telinga kita. Berita terkait kasus tersebut selalu saja dapat kita lihat dan dengar. Korupsi hampir meliputi aspek pemerintahan, tidak hanyak di pusat, tetapi di daerah pun demikian. Pejabat Negara yang terjerat kasus korupsi masih dapat tersenyum didepan public sambil berdalih ia terjebak dalam scenario politik; tidak tahu menahu tentang uang dan berbagai alasan lainnya. Apakah para pejabat Negara ini sudah tidak bisa membedakan mana uang “terima kasih” dan uang korupsi?. Mana uang rakyat dan uang upahnya?.
Selama kasus korupsi masih menjangkit para pejabat Negara ini dan persoalan kejahatan HAM, maka selama itu pula bangsa ini gagal mewujudkan cita-cita reformasi 1998.