Oleh.
Shodiq Adi Winarko (Penulis adalah Mahasiswa
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan Aktifis HMI Komfuf.)
Rencana
pemerintah menaikkan harga BBM telah menimbulkan kegeraman di tengah masyarakat. Berbagai aliansi rakyat bergabung
dalam satu visi, menggagalkan rencana kenaikan harga BBM. Mahasiswa yang dalam
hal ini berdiri di garda terdepan, terus berupaya menggalakkan banyak massa untuk
memperjuangkan hak-hak rakyat. Bahkan disinyalir, aksi protes BBM ini akan
berakhir seperti tragedi 1998.
Ketua Fraksi Hanura, Wiranto,
menjadi sosok tunggal yang dicap media sebagai pemberontak. Wakil Sekjen DPP PD
Ramadhan Pohan sempat pula menuding Ketua Umum DPP Partai Hanura itu berada di
belakang gerakan penggulingan SBY, dengan memanfaatkan isu kenaikan harga BBM.
Terlepas dari benar tidaknya upaya
pelengseran SBY, agaknya sikap cemas SBY pantas dijadikan pertanda. Terlihat
dari statemennya, SBY mengamini adanya upaya pelengseran terhadap dirinya
sendiri. Lantas sebenarnya, siapakah yang berani menjamin jika harga BBM tidak
naik maka perekonomian Indonesia
akan stabil?
Dan, jika rencana kenaikan harga BBM
benar nyata adanya, apakah jaminan kompensasi pemerintah pantas dijadikan
solusi?
Kompensasi BBM
Anas
pernah berujar “ada dua perbedaan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dengan presiden lainnya, terkait kebijakan kenaikan harga BBM. Pertama,
presiden sebelum Presiden SBY, kebijakan kenaikan harga BBM tidak dibarengi
dengan program-program perlindungan untuk rakyat kecil.
Perbedaan kedua, tidak ada presiden
lain selain Presiden SBY, yang pernah menurunkan harga BBM bersubsidi setelah
menaikkannya.” Kata Anas pada acara silaturahmi SBY dengan jajaran PD di Puci
Cikeas, Gunung Putri, Bogor,
Minggu (18/2012).
Memang berbeda kebijakan SBY
menaikkan harga BBM dengan deretan presiden sebelumnya, selain BJ Habibie.
Kebijakan presiden-presiden sebelum SBY agaknya hanya untuk menyelamatkan keuangan
negara saja, tanpa dibarengi adanya kompensasi.
Sedangkan SBY, kebijakannya
menaikkan harga BBM telah dibarengi dengan kompensasi. Di antaranya terdapat
program bantuan langsung, penambahan raskin, beasiswa, dan sarana transportasi.
Inilah yang dijadikan landasan dasar dukungan Anas terhadap kebijakan SBY,
terkait menaikkan harga BBM.
Namun ingat, dalam hal ini, BLT
bukan lah harapan tunggal rakyat. Bahkan sebenarnya rakyat tidak menghendaki
adanya BLT sebagai jawaban kenaikan harga BBM. BLT hanya merupakan sebuah
pemberian yang terpaksa harus diambil rakyat. Meminjam istilah KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA,
“innal mubadzirina kaanu ikhwana
Syayathin.” Sebuah landasan yang memang benar adanya.
Bagi kebanyakan orang, dana
kompensasi ini masih bisa dimaklumi jika benar bisa berhasil menyentuh semua
rakyat kecil tanpa terkecuali. Apalagi jika dampak kenaikkan harga BBM yang
melanda rakyat, dapat terus diobati dengan program kompensasi ini. Tentu bukan
sementara, melainkan dalam jangka waktu sebatas kenaikan harga BBM berlaku.
Hanya
dengan begitu, setidaknya luka hati rakyat dapat terobati. Sebab, manakala dana
kompensasi hanya bersifat sementara, maka hal BLT tidaklah berbeda dengan
hiburan rakyat semata dan tidak akan menjadi alternatif solusi yang baik.
Lalu bagaimana dengan proses
pelaksanaannya? Mampukah pemerintah memastikan bahwa dana kompensasi BBM
senilai kurang lebih Rp 25 Trilyun itu sampai di tangan rakyat miskin tanpa
terkecuali?
Mari kita ambil masalah raskin.
Sering dalam kenyataannya, raskin yang diterima masyarakat ternyata hanya lah beras
peras dan tak jarang pula berbau apek. Itu pun terkadang pengalokasiannya tidak
tepat sasaran. Tentu kejadian ini disebabkan adanya pihak-pihak tertentu yang
telah memanipulasinya. Ini menandakan, dana yang kurang lebih Rp 25 Trilyun itu
tidak sepenuhnya diterima oleh rakyat, melainkan tersendat di tangan para
pelaksananya.
Belum lagi program padat karya.
Dalam pelaksanaannya, program ini sangat rawan akan manipulasi administratif.
Apalagi jika program ini diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah setempat,
semakin akan menyulitkan proses pengkontrolan.
Memang
belum terbukti adanya kasus korupsi dari program ini, namun siapa yang berani
menjamin bahwa program padat karya terbebas dari praktik korupsi?
Prakmatisme Partai
Terlebih sekarang, partai-partai
politik sedang menempatkan dirinya dalam wilayah prakmatisme. Masalah pemilu misalnya, rasanya publik telah
mengetahui adanya fenomena “kutu loncat” dan “pecah kongsi” pada Pemilihan Umum
Kepala Daerah DKI Jakarta.
Pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto,
yang memenangi Pilkada 2007, pecah menjelang pemilihan kembali. Begitu pun
dengan beberapa kandidat lainnya, salah satunya Dede Yusuf yang berpindah dari
Fraksi PAN ke Partai Demokrat.
Di sisi lain, saat ini berbagai
partai juga sedang disibukkan dengan penggalangan dana pemilu. Maka jika
menitikberatkan sumber dana partai kepada penjelasan Cornelis Lay (1994) atau
pun studi Dodi Ambardi (2009), kita patut khawatir akan terjadinya manipulasi
dana kompensasi. Apalagi jarak waktu pelaksanaannya yang terlihat bersamaan,
ditambah para pelaksananya yang didominasi oleh kader-kader partai.
Sumber dana partai yang dimaksud itu
terbagi menjadi dua. Pertama, dana nonbudgeter, yang digalang kader-kader
partai di eksekutif, legislatif, maupun BUMN. Kedua, dana yang berasal dari
sumbangan para pemilih modal besar.
Dari kedua sumber dana tersebut,
cara pertama lah yang sekarang banyak diwaspadai banyak pihak. Bagaimana tidak,
belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, dana kompensasi sering kali
menjadi lahan basah praktik korupsi, walau pun tidak terhendus media.
Namun,
kini masyarakat telah bersifat partisipatif dalam menghadapi gejolak
perpolitikan di negeri ini. Meminjam istilah Cak Nun, “kepercayaan rakyat sudah
sangat minim terhadap partai, maka jangan lah memperparah keadaan dengan
penggalangan dana yang bathil.”
Inilah akar masalah yang patut
mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pihak. Hal ini penting, sebab dana
kompensasi merupakan hak penuh rakyat. Jika dana itu juga ikut dimanipulasi,
jangan heran jika rakyat akan bertindak lebih sparadis dan bahkan anarkis. Jangan
sampai isu penggulingan SBY itu benar terjadi, layaknya tragedi 1998, jika
masih bisa dicarikan solusi yang lebih familiar.