Senin, 23 April 2012

Indonesia, Republik Anarki?

oleh Ali Topan DS (Ketua Umum HMI KOMFUF 2011-2012)

Masih lekat dalam ingatan masyarakat Indonesia, sejak pertengahan bulan maret lalu, hampir semua media elektronik maupun cetak gencar dengan pemberitaan seputar kenaikan harga BBM. Hingga pasca sidang paripurna yang memutuskan naik atau tidaknya harga BBM, masyarakat tetap larut dalam isu kencang tersebut. Ditambah lagi sidang yang diwarnai kericuhan para anggota dewan perwakilan rakyat. Persoalan kenaikan harga BBM juga berkaitan erat dengan soliditas hubungan antar partai koalisi pendukung pemerintah SBY. Karena terdapat anggota partai koalisi yang tidak sejalan dengan ide pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Fakta diatas barangkali menjadi konsumsi publik belakangan kemarin.
Berbeda dengan pemberitaan media sebelumnya, kali ini masyarakat Indonesia di buat resah dengan beberapa kasus anarkis geng motor. Anggota yang tergabung geng motor rata-rata usia pelajar setingkat SMA atau bahkan SMP. Hal ini tentu sangat disayangkan. Karena pada saat ini seharusnya mereka konsentrasi menghadapi ujian nasional.
Di Ibu Kota Jakarta para geng motor kerap melakukan balap liar di malam hari. Lebih dari itu, kali ini mereka juga melakukan tindakan anarkis dan criminal dengan merampok disebuah mini market. Selain merampok, para anggota geng tersebut tidak segan-segan menganiaya penjaga mini market. Selain di Jakarta, kasus serupa juga terjadi di Tangerang Selatan, Bandung dan Makassar. Aksi anarkis dan tawuran antara dua kelompok geng motor yang terjadi di Makassar pun menelan korban jiwa.
Penulis mengamati, bahwa aksi tawuran yang kerap terjadi biasanya dipicu dendam lama atau yang pernah menimpa sebelumnya. Sehingga tawuran kemudian menjadi tradisi bagi mereka. Keamanan yang diberikan oleh pihak penegak hukum juga dirasa kurang. Karena beberapa aksi balap liar atau perampokan tidak terjadi belakangan ini. Selain itu, tidak jarang dari aksi tawuran yang terjadi akibat perbedaan pendapat antar satu kelompok dengan lainnya. Para pelaku tawuran juga iresponsif terhadap somasi dari aparat keamanan.
Sungguh sebuah ironi. Bangsa Indonesia harus menerima kenyataan prilaku negatif yang dilakukan anak muda penerus bangsa; kericuhan akibat disparitas pendapat dalam sidang DPR; serta melihat nyawa melayang akibat ulah tak bertanggung jawab kelompok tertentu. Inilah problem dan fakta lapangan yang harus segera diakhiri. Jika dibiarkan demikian, maka sebutan “Republik Anarki” layak disandang Indonesia.
Melihat disharmoni yang terjadi dikalangan masyarakat, sudah semestinya masyarakat Indonesia memahami kembali nilai-nilai kebangsaan. Pancasila ketiga yang berbunyi Persatuan Indonesia, harus diaplikasikan dalam perbuatan, bukan sekedar dihapal. Keragaman dan heterogenitas masyarakat bukan alasan untuk saling berpecah belah. Seharusnya hal ini menjadi titik pijakan dalam merajut satu kesatuan.

Rabu, 11 April 2012

Pengaturan Subsidi BBM, Benarkah untuk Kemakmuran Rakyat?


Oleh: Ali Topan DS (Ketua Umum HMI KOMFUF 2011-2012)
Melekat kuat dalam ingatan masyarakat Indonesia, memori ketuk palu pemutusan kenaikan harga BBM dalam sidang paripurna DPR akhir Maret lalu. Berita hangat seputar kenaikan harga BBM santer dijadikan bahan obrolan di setiap penjuru publik. Mulai dari beberapa stasiun televisi, media cetak, hingga forum-forum diskusi mahasiswa. Walhasil, semua elemen masyarakat pun larut dalam hiruk-pikuk pro dan kontra kenaikan harga BBM.
Kabar serta wacana kenaikan harga BBM memang telah lama terdengar, jauh sebelum sidang paripurna dilaksanakan. Jauh hari pula, masyarakat telah aktif menyuarakan aspirasinya. Terlihat bagaimana ribuan massa turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi, menolak kenaikan harga BBM. Bukan hanya para oposan pemerintah, kalangan koalisi pun ikut andil dalam menyuarakan aspirasinya dengan turun ke jalan. Tidak jarang aksi tersebut berujung dengan tindak anarkis yang memakan korban. Pengamat ekonomi dan politik juga tidak ketinggalan. Mereka kerap mewarnai layar kaca dan ruang opini media cetak, menyoal dan mengamati keputusan yang akan diambil pemerintah dalam menaikkan harga BBM.
Pernyataan kenaikan BBM di awal tahun ini, sebagaimana di sampaikan oleh Arif Budimanta, salah seorang Koordinator Kaukus Ekonomi Konstitusi, memiliki dua alasan utama. Pertama, dinamika krisis keuangan global yang tak kunjung surut. Kedua, kenaikan harga minyak dunia yang memberi dampak pada rencana kenaikan BBM bersubsidi. Maka, tanpa adanya kenaikan harga BBM, kian berat beban yang akan dipikul pemerintah.
Lebih lanjut Arif Budimanta mengkritisi bahwa RAPBNP 2012 terjadi ketimpangan alpha (ongkos distribusi dan pajak Perusahaan Pertamina) yang cukup besar, yakni 11 persen, yang seharusnya 25 persen (Sebagaimana yang menjadi standar komponen alpha) menjadi 36 persen. Pemerintah mematok harga BBM per tahun 2012 jika tidak disubsidi mencapai kisaran Rp 9.325, apabila harga BBM bersubsidi dinaikkan Rp 6000, maka pemerintah menanggung subsidi sebesar Rp 3.325. Ongkos produksi Rp 5.947/liter. Sehingga ada selisih Rp 3.378/liter (harga nonsubsidi dikurangi harga ongkos produksi). Maka terdapat perbedaan 11 persen dari yang dikemukakan di awal. Jika di rupiahkan jumlah tersebut berkisar Rp 1.025. Seharusnya harga BBM nonsubsidi seharga Rp 8.300 (jika mengacu pada standar komponen alpha sebesar 25 persen).
Besarnya selisih 11 persen inilah yang mengundang pertanyaa. Tak ayal jika banyak pihak menuntut pemerintah untuk menjelaskan kemana besaran dana subsidi tersebut dialokasikan?. Padahal, jika nilai 11 persen atau setara dengan Rp 1.025/liter dikalikan dengan total BBM yang subsidi yakni 40 miliyar liter, maka total dana dari selisih 11 persen melebihi Rp 40 triliun.
Memang, kenaikan subsidi BBM yang dirancang pemerintah bukan tanpa alasan. Menteri Keuangan, Agus Martowardoyo memaparkan “Kenaikan BBM bersubsidi dipicu dari lonjakan pengguna atau konsumsi BBM.” Lebih lanjut, ia mengatakan “Subsidi BBM di Indonesia terbilang murah, sehingga terjadi banyak penimbunan dan penyelundupan. Masyarakat pengguna BBM nonsubsidi pun beralih ke BBM bersubsidi”.
Pemerintah berpendapat bahwa kenaikan BBM bersubsidi adalah untuk menyelamatkan APBN. Pemerintah juga telah merencanakan bahwa dana subsidi BBM akan dialokasikan untuk pengembangan beberapa sektor tertentu. Tidak hanya pemberian dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau yang sekarang disebut Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), yang dinilai banyak pihak kurang efektif. Tetapi pemerintah juga memperhatikan pembangunan infrastruktur energi dan revitalisasi transportasi umum.
Jika kenaikan harga BBM benar terjadi, pemerintah sudah pasang target untuk memberikan dana kompensasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), yakni serupa dengan BLT. Besaran dana tersebut 150.000/bulan selama 6 bulan (total Rp 900.000) yang diberikan kepada 18,5 juta rumah tangga.
Menyikapi hal ini, Bambang Susatyo, salah satu anggota Badan Anggaran dari fraksi Partai Golkar menilai bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk menaikkan pamor pemerintah (SBY). Menurutnya, kenaikan harga BBM masih dapat diperdebatkan. Dengan menaikkan harga BBM bersubsidi dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000, Negara akan menghemat subsidi dana sekitar Rp 53 triliun. Dari penghematan tersebut pemerintah membagi Rp 30,6 triliun untuk kompensasi dan Rp 23 triliun untuk tambahan belanja pemerintah. Menurut Bambang, jika BBM tidak dinaikkan, Rp 23 triliun untuk tambahan belanja pemerintah dapat dicari. Seperti penghematan pemerintah sebesar Rp 18,8 triliun pada tahun 2011 dan tambahan pemasukan pajak Rp 5 triliun.
Bambang menambahkan bahwa pemberian BLSM dinilai sarat dengan kepentingan politik menjelang pilpres 2014. Terlebih dari anggaran Rp 30,6 triliun hanya Rp 5 triliun untuk subsidi tranportasi. Dan sisanya Rp 25,6 triliun untuk BLSM.
Maka dalam hal ini, agaknya hipotesa penulis dapat dijadikan bahan pertimbangan. Bahwa untuk memakmurkan rakyat, bagian Rp 23 triliun dari dana Rp 53 triliun tidak perlu dialokasikan untuk tambahan belanja pemerintah. Cukup lah dana tersebut diperuntukkan bagi rakyat secara keseluruhan. Baik untuk subsidi transportasi, ataupun BLSM. Sehingga, harapan rakyat untuk makmur pun akan semakin jelas terlihat.

Kompensasi BBM dan Prakmatisme Partai


Oleh. Shodiq Adi Winarko (Penulis adalah Mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan Aktifis HMI Komfuf.)
Rencana pemerintah menaikkan harga BBM telah menimbulkan kegeraman di tengah  masyarakat. Berbagai aliansi rakyat bergabung dalam satu visi, menggagalkan rencana kenaikan harga BBM. Mahasiswa yang dalam hal ini berdiri di garda terdepan, terus berupaya menggalakkan banyak massa untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Bahkan disinyalir, aksi protes BBM ini akan berakhir seperti tragedi 1998.
            Ketua Fraksi Hanura, Wiranto, menjadi sosok tunggal yang dicap media sebagai pemberontak. Wakil Sekjen DPP PD Ramadhan Pohan sempat pula menuding Ketua Umum DPP Partai Hanura itu berada di belakang gerakan penggulingan SBY, dengan memanfaatkan isu kenaikan harga BBM.
            Terlepas dari benar tidaknya upaya pelengseran SBY, agaknya sikap cemas SBY pantas dijadikan pertanda. Terlihat dari statemennya, SBY mengamini adanya upaya pelengseran terhadap dirinya sendiri. Lantas sebenarnya, siapakah yang berani menjamin jika harga BBM tidak naik maka perekonomian Indonesia akan stabil?
            Dan, jika rencana kenaikan harga BBM benar nyata adanya, apakah jaminan kompensasi pemerintah pantas dijadikan solusi?
Kompensasi BBM
            Anas pernah berujar “ada dua perbedaan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan presiden lainnya, terkait kebijakan kenaikan harga BBM. Pertama, presiden sebelum Presiden SBY, kebijakan kenaikan harga BBM tidak dibarengi dengan program-program perlindungan untuk rakyat kecil.
            Perbedaan kedua, tidak ada presiden lain selain Presiden SBY, yang pernah menurunkan harga BBM bersubsidi setelah menaikkannya.” Kata Anas pada acara silaturahmi SBY dengan jajaran PD di Puci Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Minggu (18/2012).
            Memang berbeda kebijakan SBY menaikkan harga BBM dengan deretan presiden sebelumnya, selain BJ Habibie. Kebijakan presiden-presiden sebelum SBY agaknya hanya untuk menyelamatkan keuangan negara saja, tanpa dibarengi adanya kompensasi.
            Sedangkan SBY, kebijakannya menaikkan harga BBM telah dibarengi dengan kompensasi. Di antaranya terdapat program bantuan langsung, penambahan raskin, beasiswa, dan sarana transportasi. Inilah yang dijadikan landasan dasar dukungan Anas terhadap kebijakan SBY, terkait menaikkan harga BBM.
            Namun ingat, dalam hal ini, BLT bukan lah harapan tunggal rakyat. Bahkan sebenarnya rakyat tidak menghendaki adanya BLT sebagai jawaban kenaikan harga BBM. BLT hanya merupakan sebuah pemberian yang terpaksa harus diambil rakyat. Meminjam istilah KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, “innal mubadzirina kaanu ikhwana Syayathin.” Sebuah landasan yang memang benar adanya.
            Bagi kebanyakan orang, dana kompensasi ini masih bisa dimaklumi jika benar bisa berhasil menyentuh semua rakyat kecil tanpa terkecuali. Apalagi jika dampak kenaikkan harga BBM yang melanda rakyat, dapat terus diobati dengan program kompensasi ini. Tentu bukan sementara, melainkan dalam jangka waktu sebatas kenaikan harga BBM berlaku.
Hanya dengan begitu, setidaknya luka hati rakyat dapat terobati. Sebab, manakala dana kompensasi hanya bersifat sementara, maka hal BLT tidaklah berbeda dengan hiburan rakyat semata dan tidak akan menjadi alternatif solusi yang baik.
            Lalu bagaimana dengan proses pelaksanaannya? Mampukah pemerintah memastikan bahwa dana kompensasi BBM senilai kurang lebih Rp 25 Trilyun itu sampai di tangan rakyat miskin tanpa terkecuali?
            Mari kita ambil masalah raskin. Sering dalam kenyataannya, raskin yang diterima masyarakat ternyata hanya lah beras peras dan tak jarang pula berbau apek. Itu pun terkadang pengalokasiannya tidak tepat sasaran. Tentu kejadian ini disebabkan adanya pihak-pihak tertentu yang telah memanipulasinya. Ini menandakan, dana yang kurang lebih Rp 25 Trilyun itu tidak sepenuhnya diterima oleh rakyat, melainkan tersendat di tangan para pelaksananya.
            Belum lagi program padat karya. Dalam pelaksanaannya, program ini sangat rawan akan manipulasi administratif. Apalagi jika program ini diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah setempat, semakin akan menyulitkan proses pengkontrolan.
Memang belum terbukti adanya kasus korupsi dari program ini, namun siapa yang berani menjamin bahwa program padat karya terbebas dari praktik korupsi?
Prakmatisme Partai
            Terlebih sekarang, partai-partai politik sedang menempatkan dirinya dalam wilayah prakmatisme. Masalah pemilu misalnya, rasanya publik telah mengetahui adanya fenomena “kutu loncat” dan “pecah kongsi” pada Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta.
            Pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto, yang memenangi Pilkada 2007, pecah menjelang pemilihan kembali. Begitu pun dengan beberapa kandidat lainnya, salah satunya Dede Yusuf yang berpindah dari Fraksi PAN ke Partai Demokrat.
            Di sisi lain, saat ini berbagai partai juga sedang disibukkan dengan penggalangan dana pemilu. Maka jika menitikberatkan sumber dana partai kepada penjelasan Cornelis Lay (1994) atau pun studi Dodi Ambardi (2009), kita patut khawatir akan terjadinya manipulasi dana kompensasi. Apalagi jarak waktu pelaksanaannya yang terlihat bersamaan, ditambah para pelaksananya yang didominasi oleh kader-kader partai.
            Sumber dana partai yang dimaksud itu terbagi menjadi dua. Pertama, dana nonbudgeter, yang digalang kader-kader partai di eksekutif, legislatif, maupun BUMN. Kedua, dana yang berasal dari sumbangan para pemilih modal besar.
            Dari kedua sumber dana tersebut, cara pertama lah yang sekarang banyak diwaspadai banyak pihak. Bagaimana tidak, belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, dana kompensasi sering kali menjadi lahan basah praktik korupsi, walau pun tidak terhendus media.
Namun, kini masyarakat telah bersifat partisipatif dalam menghadapi gejolak perpolitikan di negeri ini. Meminjam istilah Cak Nun, “kepercayaan rakyat sudah sangat minim terhadap partai, maka jangan lah memperparah keadaan dengan penggalangan dana yang bathil.
            Inilah akar masalah yang patut mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pihak. Hal ini penting, sebab dana kompensasi merupakan hak penuh rakyat. Jika dana itu juga ikut dimanipulasi, jangan heran jika rakyat akan bertindak lebih sparadis dan bahkan anarkis. Jangan sampai isu penggulingan SBY itu benar terjadi, layaknya tragedi 1998, jika masih bisa dicarikan solusi yang lebih familiar.