Kamis, 05 Juli 2012

Puasa untuk Rakyat


Oleh. Shodiq Adi Winarko
Berpuasa menjadi ibadah rutin yang dilakukan kaum muslimin se-dunia tiap tahunnya, namun bukan berarti puasa tidak boleh dilakukan non-muslim. "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa." Inilah ayat utama dalam Al Quran yang menjadi landasan kewajiban menjalankan puasa Ramadhan.
Menurut Asghar Ali Engineer, makna "orang beriman" tak hanya diidentikkan pemeluk keyakinan agama tertentu. Meski kewajiban puasa yang dimaksud ayat itu ditujukan pada umat Muhammad SAW.
            Puasa dalam kelanjutan ayat di atas memfokuskan objek pembahasannya bagi kaum sebelum Nabi. Semua Nabi dan Rasul membawa titah puasa, meski tak sama mekanisme dan waktu pelaksanaannya. Maka, dapat diartikan bahwa puasa tak hanya dimiliki umat Muslim. Puasa milik semua umat.
            Inilah mengapa puasa dapat dijadikan sebuah momentum untuk merajut kebersamaan antarumat beragama, terutama rakyat Indonesia.
Untuk Rakyat
Puasa merupakan salah satu bentuk peribadatan yang masih menyimpan banyak misteri. Ahli spiritualitas Muslim terkemuka, al-Ghazali (wafat 1111 M) dalam Rahasia Ibadah Puasa membahas, mengapa puasa menyimpan banyak misteri. Melalui Rasulullah SAW, Allah SWT berfirman, Setiap perbuatan baik mendapat pahala sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang menentukan pahalanya.
Hadis Qudsi ini menunjukkan, di antara keistimewaan puasa, dibandingkan dengan ibadah lain, terletak pada pahala atau implikasi positifnya. Pahala puasa ditentukan oleh Allah dan manusia tidak ikut andil di dalamnya.
Kapan puasa bisa mendatangkan hikmah yang sesuai harapan manusia? Ketika dijalankan secara baik, secara syariat (dengan meninggalkan makan, minum, merokok, dan koitus dari fajar hingga matahari terbenam) ataupun hakikat (meninggalkan perkataan dan perbuatan tercela).
            Namun masalahnya, adakah dampak puasa bagi jalinan kebersamaan antarumat beragama? Padahal jika puasa dijalankan secara hakikat dan hikmat, maka akan menampilkan "wajah" dan "sifat-sifat" Tuhan pada para pelakunya, sedangkan puasa yang dijalankan "hanya" secara syariat saja belum tentu sampai pada maqam (tingkat) demikian.
Nabi bersabda, "Betapa banyak orang yang menjalankan ibadah puasa, tetapi tidak menghasilkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga." Bisa dipahami, meski di negeri ini mayoritas penduduknya menjalankan puasa, tidak berarti orang baik-baiknya mayoritas juga. Masalahnya, begitu banyak orang berpuasa namun maksiatnya tetap jalan, lantas bagaimana kita menyikapinya? Mengherankan.
Artinya, menjalin kebersamaan ummat beragama dengan berpuasa dapat saja diraih, asalkan dijalankah secara hakikatnya yang pasti. Mereka yang menjalankan puasa secara hakiki akan meraup hikmah memancarkan "wajah" dan "sifat-sifat" Tuhan. Salah satu sifat Tuhan, seperti ditegaskan dalam doktrin Islam, adalah rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta) atau dalam doktrin Kristiani sebagai "penyebar kedamaian dan kesejahteraan di Bumi".
Setiap pemeluk agama yang menjalankan agamanya, seyogianya bisa mengaktualisasikan sifat Tuhan itu. Dalam konteks kebersamaan, tanpa memandang perbedaan agama, seharusnya sifat kasih Tuhan itu juga dimanifestasikan dalam bentuk toleransi, saling menghormati, bahkan saling menyayangi.
Inilah inti dari adanya hikmah berpuasa, yakni upaya manusia untuk menuju kehidupan yang makin sesuai dengan fitrahnya, yaitu jati diri yang dikehendaki dan/atau yang sesuai sifat belas kasih Tuhan. Itu sebabnya, mengapa seusai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, umat Islam merayakan Idul Fitri (hari kemenangan bagi kembalinya manusia pada fitrah).
Dalam Idul Fitri, umat Islam juga diwajibkan membayar zakat fitrah (sedekah yang harus dikeluarkan sebagai tanda kasih sayang sesama umat). Semakin dekat manusia pada fitrah, semakin ia menyadari adanya kesamaan antarmanusia; semua manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.
Perbedaan yang ada pada diri manusia hanya atribut lahiriah, yang dalam perspektif keyakinan agama disebut syariat. "Syariat" berasal dari bahasa Arab yang artinya "jalan". Jalan yang ditempuh antara pemeluk agama yang satu dan yang lain bisa saja berbeda. Namun, tujuannya sama, Tuhan. Puasa adalah salah satu jalan menuju Tuhan, siapa pun bisa melakukannya.
Maka, dalam kondisi maraknya kasus kerusuhan antarumat beragama di Jakarta, seyogjanya puasa dapat dijadikan solusi alternatif. Sebuah jalan yang mampu merekatkan tali persaudaraan segenap rakyat, khususnya rakyat Indonesia, mengingat nilai-nilai positif yang dikandungnya.