Oleh.
Shodiq Adi Winarko
Berpuasa menjadi ibadah
rutin yang dilakukan kaum muslimin se-dunia tiap tahunnya, namun bukan berarti
puasa tidak boleh dilakukan non-muslim. "Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa." Inilah ayat utama dalam Al Quran yang
menjadi landasan kewajiban menjalankan puasa Ramadhan.
Menurut Asghar Ali
Engineer, makna "orang beriman" tak hanya diidentikkan pemeluk
keyakinan agama tertentu. Meski kewajiban puasa yang dimaksud ayat itu
ditujukan pada umat Muhammad SAW.
Puasa
dalam kelanjutan ayat di atas memfokuskan objek pembahasannya bagi kaum sebelum
Nabi. Semua Nabi dan Rasul membawa titah puasa, meski tak sama mekanisme dan
waktu pelaksanaannya. Maka, dapat diartikan bahwa puasa tak hanya dimiliki umat
Muslim. Puasa milik semua umat.
Inilah
mengapa puasa dapat dijadikan sebuah momentum untuk merajut kebersamaan antarumat
beragama, terutama rakyat Indonesia.
Untuk
Rakyat
Puasa merupakan salah
satu bentuk peribadatan yang masih menyimpan banyak misteri. Ahli spiritualitas
Muslim terkemuka, al-Ghazali (wafat 1111 M) dalam Rahasia Ibadah Puasa membahas,
mengapa puasa menyimpan banyak misteri. Melalui Rasulullah SAW, Allah SWT
berfirman, Setiap perbuatan baik mendapat pahala sepuluh sampai tujuh ratus
kali lipat, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang menentukan
pahalanya.
Hadis Qudsi ini menunjukkan,
di antara keistimewaan puasa, dibandingkan dengan ibadah lain, terletak pada
pahala atau implikasi positifnya. Pahala puasa ditentukan oleh Allah dan
manusia tidak ikut andil di dalamnya.
Kapan puasa bisa
mendatangkan hikmah yang sesuai harapan manusia? Ketika dijalankan secara baik,
secara syariat (dengan meninggalkan makan, minum, merokok, dan koitus dari
fajar hingga matahari terbenam) ataupun hakikat (meninggalkan perkataan dan
perbuatan tercela).
Namun
masalahnya, adakah dampak puasa bagi jalinan kebersamaan antarumat beragama? Padahal
jika puasa dijalankan secara hakikat dan hikmat, maka akan menampilkan
"wajah" dan "sifat-sifat" Tuhan pada para pelakunya,
sedangkan puasa yang dijalankan "hanya" secara syariat saja belum
tentu sampai pada maqam (tingkat) demikian.
Nabi bersabda,
"Betapa banyak orang yang menjalankan ibadah puasa, tetapi tidak
menghasilkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga." Bisa dipahami, meski di
negeri ini mayoritas penduduknya menjalankan puasa, tidak berarti orang baik-baiknya
mayoritas juga. Masalahnya, begitu banyak orang berpuasa namun maksiatnya tetap
jalan, lantas bagaimana kita menyikapinya? Mengherankan.
Artinya, menjalin
kebersamaan ummat beragama dengan berpuasa dapat saja diraih, asalkan
dijalankah secara hakikatnya yang pasti. Mereka yang menjalankan puasa secara
hakiki akan meraup hikmah memancarkan "wajah" dan
"sifat-sifat" Tuhan. Salah satu sifat Tuhan, seperti ditegaskan dalam
doktrin Islam, adalah rahmatan lil’alamin
(rahmat bagi semesta) atau dalam doktrin Kristiani sebagai "penyebar
kedamaian dan kesejahteraan di Bumi".
Setiap pemeluk agama
yang menjalankan agamanya, seyogianya bisa mengaktualisasikan sifat Tuhan itu.
Dalam konteks kebersamaan, tanpa memandang perbedaan agama, seharusnya sifat
kasih Tuhan itu juga dimanifestasikan dalam bentuk toleransi, saling
menghormati, bahkan saling menyayangi.
Inilah inti dari adanya
hikmah berpuasa, yakni upaya manusia untuk menuju kehidupan yang makin sesuai
dengan fitrahnya, yaitu jati diri yang dikehendaki dan/atau yang sesuai sifat
belas kasih Tuhan. Itu sebabnya, mengapa seusai menjalankan ibadah puasa
sebulan penuh, umat Islam merayakan Idul Fitri (hari kemenangan bagi kembalinya
manusia pada fitrah).
Dalam Idul Fitri, umat
Islam juga diwajibkan membayar zakat fitrah (sedekah yang harus dikeluarkan
sebagai tanda kasih sayang sesama umat). Semakin dekat manusia pada fitrah,
semakin ia menyadari adanya kesamaan antarmanusia; semua manusia berasal dari
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.
Perbedaan yang ada pada
diri manusia hanya atribut lahiriah, yang dalam perspektif keyakinan agama
disebut syariat. "Syariat" berasal dari bahasa Arab yang artinya
"jalan". Jalan yang ditempuh antara pemeluk agama yang satu dan yang
lain bisa saja berbeda. Namun, tujuannya sama, Tuhan. Puasa adalah salah satu
jalan menuju Tuhan, siapa pun bisa melakukannya.
Maka, dalam kondisi maraknya kasus kerusuhan
antarumat beragama di Jakarta, seyogjanya puasa dapat dijadikan solusi
alternatif. Sebuah jalan yang mampu merekatkan tali persaudaraan segenap
rakyat, khususnya rakyat Indonesia, mengingat nilai-nilai positif yang
dikandungnya.