Selasa, 12 Maret 2013

TEKS NILAI-NILAI DASAR (NDP) PERJUANGAN HMI



 TEKS NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN HMI
I.  Dasar-dasar Kepercayaan
Manusia memerlukan satu bentuk kepercayaan. Kepercayan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah bukan saja tidak dikehendaki, akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja di antaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagi sumber tata nilai guna menopang peradaban manuisia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu beersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada Tuhan”, meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain Allah”, memperkecualikan kepercayaan kepada satu kebenaran. Dengan peniadaan itu, dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah  Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena  kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat  Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tata nilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain lebih tinggi namun tidak bertentangan dengan insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu adalah Wahyu yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri Kepada manusia. Tetapi sebagimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ke tingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat yang dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para rasul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Para Rasul dan Nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa atau Yesus anak Maryam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci al-Quran. Selain berarti “bacaan”, kata al-Quran juga berarti kumpulan atau kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar, al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai pada hal-hal ghaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain (al-Nahl [16]: 89).
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang pada al-Quran, dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut umat manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Kemudian di dalam al-Qur’an didapatkan keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya yang merupakan garis-garis besar jalan hidup yang mesti diikuti manusia. Tentang Tuhan antara lain: Surat al-Ikhlash menerangkan secara singkat: “Katakanlah; Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula Ia berbapa.” (al-Ikhlash [112]: 1-4). Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya dari segala sifat kesempurnaan yang layaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah Yang Pertama dan Yang Penghabisan, Yang Lahir dan Yang Bathin (al-Hadid [37]: 3), dan “Kemana pun manusia berpaling maka di sanalah wajah Tuhan” (al-Baqarah [2]: 115). Dan “Dia itu bersama kamu dimana pun kamu berada” (al-An’am[57]: 4). Jadi Tuhan tidak terikat dengan ruang dan waktu.
Sebagai “Yang Pertama dan Yang Penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya: sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepada-Nya, Ia pun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada “persetujuan” atau ridla-Nya. Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar diterangkan dalam bagian lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti (al-An’am [6]: 73, al-Furqan [25]: 2). Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan objektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan dari sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis (al-Mu’minun [23]: 14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya (Lukman [31]: 20). Maka alam dapat dan harus dijadikan objek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnah Allah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri (Yunus [10]: 101).
Jika kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam itu tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya dan sekedar emanasi atau pancaran dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau dari Nirwana (Shad [38]: 27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan Pencipta atau pun peniadaan Tuhan adalah satu sudut dari filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan makhluk-Nya yang tertinggi... (al-Tien [95]: 4, al-Isra’ [17]: 70). Sebagai makhluk tertinggi manusia dijadikan Khalifah atau wakil Tuhan di bumi (al-An’am [6]: 165). Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (Hud [11]: 16). Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut sejarah. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau “rajanya”
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunnah Allah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk terhadap sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak terlalu tunduk kepada sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (al-Ahzab [33]: 72). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohannya. Hukum dasar alami dari segala yang ada inilah “Perubahan dan perkembangan”, sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan oleh-Nya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya (al-Ankabut [29]: 20). Segala sesuatu ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu (al-Qashas [28]: 88). Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menuju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu (al-Isra [17]: 72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenaranya (al-Isra [17]: 36).
Oleh karena itu hidup yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (Al Mujadalah [58]: 11). Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang  wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan kepadanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan di muka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap mempertuhankan dan mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa (Fushilat [41]:37).
Ini disebut “Tauhid” dan lawannya disebut “Syirik”, artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian. Maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan yang menuju kebenaran.
Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah hari kiamat. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga hari agama, atau yaum al-din, dimana Tuhan menjadi satu-satunya Pemilik dan Raja (Al-Fatihah [1]: 4, al-Haj [22]: 56, al-Mukminun [40]: 16). Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunganjawab individual manusia yang bersifat mutlak dihadapan Illahi atas segala perbuatannya dahulu di dalam sejarah (al-Baqarah [2]: 48). Selanjutnya kiamat merupakan “Hari Agama”, maka tidak ada yang mungkin kita ketahui selain dari yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan akhirat yang non historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadia-kejadian (al-A’raf [7]: 187).

II.     Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan
Telah disebutkan dimuka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan makhluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief) (al-Rum [30]:50).
Dhamier atau hati nurani adalah pemancar keinginan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (al-Dzariyat [51]: 56).
Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatannya (al-Taubah [19]: 105 dan al-Najm[53]: 39). Nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliyah yang kongkrit (al-Shaf [61]: 2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan  yang berperikemanusiaan (fitri sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak  berperikemanusiaan (jahat) ia menderita kepedihan (al-Nahl [16]:79 dan al-Nisa[4]:111).
Hidup yang penuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang di dalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan ke arah kemajuan-kemajuan baik yang mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya (al-Ankabut [29]: 6).
Dia diliputi semangat mencari kebaikan, keindahan, dan kebenaran (al-Nisa [4]: 125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (al-Zumar [39]: 18). Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom,hikmah) (al-Baqarah[2]:269). Dia berpengalaman luas, berfikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (al-An’am [6]: 125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (Ali Imran[3]:134). Keutamaan ini merupakan kekayaan kemanusiaan yang menjadi milik dari pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisikisnya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individual dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama umat manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik ataupun dunia akhirat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (al-Bayyinah [98]:5).
Dia adalah seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari kecenderungannya yang suci dan murni (al-Baqarah [2]: 207, al-Insan [76]: 8-9). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberikannya kebahagiaan (Fathir [35]: 10). Hal itu akan menghilangkan  sebab-sebab suatu jenis pekerjaan yang ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan paling berharga (al-Baqarah [2]: 264). Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keihlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.
Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.

III.   Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)
Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang dari kemauan baik. Keikhlasan adalah gambaran terpenting dari kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (eksternal) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akhirat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus (al-Anfal [8]: 25). Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akhirat tidak terdapat pertanggungjawaban bersama tetapi hanya ada pertanggungjawaban perseorangan yang mutlak (al-Baqarah [2]: 48, Luqman [31] :33). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup di tengah alam dan mensyarat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir dari kemanusiaan, serta letak kebenarannya dari nilai kemanusiaannya sendiri. Karena individu adalah penanggungjawab terakhir dan mutlak dari awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder ialah bahwa individu hidup dalam suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup di tengah alam sebagai makhluk sosial hidup di tengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan suatu kesatuan.
Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup di tengah dan masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari kemanusiaan  tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap yang menguasai alamhukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiriyang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya “keharusan universal” atau “kepastian hukum” dan takdir (al-Hadid [57]: 22).
Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam konteks hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukkan, maka apakah bentuk hubungan yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan  terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif dari kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kreatif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan ikhtiar artinya pilihan merdeka.
Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, menusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggungjawaban pribadi dari amal perbuatannya.Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan dirinya sendiri (al-Rad [13] : 11). Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir namun manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum itu menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak pula terlalu membanggakan diri karena suatu kemujuran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu (al-Hadid [57]: 23).

IV.  Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhlasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada suatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk pada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup. Dan  apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran yang terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu?. Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak dari hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan bahasa dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu Tuhan. Kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (Lukman [31]: 30). Karena kemutlakan-Nya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (Ali Imran [3]:60). Maka Dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran Yang Maha Benar adalah pada hakekatnya pikiran tentang Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu seorang manusia merdeka ialah yang berketuhanan Yang Maha Esa, Keikhlasan tiada lain ialah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan Yang Maha Esa., yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau “ridha” dari-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung di dalamnya guna mendapatkan persetujuan atau ridha kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan “karena Allah” itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (al-Lail [92]: 19-21).
Kata iman berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat pengabdian diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ali Imran [3]: 19). Pelakunya disebut “Muslim. Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (al-Ahdzab [33]: 49). Semangat tauhid (memutuskan pengabdia hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah dari keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality), itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi, antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen harmonis pada dirinya sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakekat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (al-Syu’ara [26]: 226). Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia “amal saleh” (harfiah; pekerjaan yang selaras dalam hal ini selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung dari iman (lihat  al-Qur’an: ..aamanu wa a’aamilus shaalihaat, tidak kurang dari 50 pengulangan kombinasi kata). Jadi ketuhanan Yang Maha Esa memancar dalam prikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada prikemanusiaan tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa. Prikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (an-Nur [24]: 39). Oleh karena itu semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dan semangat mencari ridha dari-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban (al-Baraah [9]: 109).
Syirik merupakan kebalikan dari tauhid, secara harfiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (Lukman [31]: 13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik (al-An’am [6]: 82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya. (Hadis: “sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil,yaitu riya, pamrih” (Rawahu Amad, hadis hasan)Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
“Musyrik” adalah pelaku dari syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (Ali Imran[3]:64). Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (al-Qashash [28]: 4). Kedua pelaku itu merupakan pemnentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Maka sikap berkemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selalu menyimpan i’tikad baik dan lebih baik (ihsan). Maka Ketuhanan menimbulkan sikap yang adil dan baik kepada manusia (al-Nahl [16]:90).
 
V. Individu dan Masyarakat
Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka dalam masyarakat itulah kemerdekan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedan antara suatu pribadi dengan lainnya (al-Zuhruf [43]: 32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri, sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (Al-Maidah [5]: 48).
Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya (al-Lail [92]: 4). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (al-Isra [17]: 84, al-Zummar [39]: 39). Peningkatan kemanusian tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keluasan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.
Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung ke arah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (Yusuf [12]: 53 dan Rum [30] : 29).
Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan antara hak sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas pihak yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan  dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya, sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota-anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia (al-Maidah [5]: 5).
Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin  dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif, tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (al-Zalzalah [99]: 7-8).
Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dan dalam hidup kemudian (sesudah sejarah) (al-Taubah [9]: 74 dan al-Nahl [16] : 30). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (al-Ankabut [29]: 69). Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan. Jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja untuk mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki hubungan dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong royong ini ialah kesetiakawanan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (al-Hujurat [49]:13 dan 10).

VI. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Telah kita bicarakan tentang hubungan antara individu dan masyarakat dimana kemerdekaan dan pembatasan kemerdekaan saling bergantung, dan dimana perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas), maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan atau anarchi (al-Lail [96]: 8-10). Sudah barang tentu hal itu menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat (al-Maidah [5]:8).
Siapakah yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat, sudah barang pasti adalah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (Ali Imran [3]: 104).
Kualitas terpenting yang harus dipunyai ialah rasa kemanusiaan yang tinggi, sebagai pancaran dari kecintaannya yang terbatas kepada Tuhan. Disamping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau setida-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental dari didirikannya negara dan pemerintahan ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara dari kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia, sebaliknya setiap orang harus mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah negara atas persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri (Hadis: “kullukum raa’in wa kullukum mas’uulun ‘an raiyyatih”, Bukhari-Muslim). Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari kekuatan masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaannya atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana rasa keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu (al-Syura [42]: 38, 42). Kekuatan yang sebenarnya di dalam negara ada di tangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotong-royongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang mesti dilaksanakan (al-Nisa [4]: 59). Ketaatan rakyat pada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasarkan oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kepeda pemirantah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) (al-Nisa [4]: 58). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa (al-Maidah [5]: 45).
Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan di antara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rezeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perkembangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa di lain pihak (al-Hadid [57]: 20). Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya apabila –yaitu bila sudah mencapai batas maksimal pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (al-Isra [4]: 16).
Dalam masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukan adanya perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku dari kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi  sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada di pihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dengan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebatilan, maka pertentang itu disudahi dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat (al-Nisa [4]: 160-161, al-Syu’ara [26]: 182-183, al-baqarah [2]: 279, al-Qashash [28]: 5).
Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kepitalisme dengan mudah seseoranmg dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh karena menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (al-Baqarah [2]: 278-279). Sesudah syirik kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (al-Humazah [104] : 1-3). Maka menegakan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma’ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia, kepada kebenaran asasi dan rasa kemanusiaan (nahi mungkar). Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang mungkar diharamkan) (Ali Imran [3]: 110).
Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini pengakuan berketuhanan Yang Maha Esa tetapi tidak melaksanakannya, sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata (al-Shaf [61]: 2-3).
Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk tunduk dan menyerahkn diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan tetapi dari kapital itu selanjutnya lebihmemperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kemiskinan.
Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana diterangkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap menyintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang kontinu, sebagai bentuk formil peringatan kepada Tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran (al-Ankabut [29]:45). Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar (Hadis: “Sembahyang adalah tiang agama, barang siapa mengerjakannya berarti menegakkan aaSembahyang adalah tiang agama, barang siapa mengerjakannya berarti menegakkan agama, barang siapa meninggalkannya berarti merobohkan agama”.Bukhari). Sembahyang menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara intrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan spiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (Lukman [31]: 30). Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar kepada Tuhan Yang Maha Esa, tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain, dan membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhaap kemanusiaan.
Dalam masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan kaya miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (privat ownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan-perbedaan tak terhindarkan dari kemampuan-kemampuan pribadi, fisik maupun mental (al-Rum [30]: 37).
Walaupun demikian usaha-usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan atas manusia oleh manusia dihapuskan (al-Baqarah [2]: 188).
Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika digunakan hak itu tidak bertentangan pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak mengajukan konsfikasi penggunaan dalam masyarakat (al-Furqan [25]: 67). Seseorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan dengan prikemanusiaan (al-Isra [17]: 26-27). Kewenangan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dan masyarakat membuat akibat destruktif (al-Isra’ [17]: 16) Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (Muhammad [47]: 38).
Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan (Yunus [10]: 55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberi hak yang sama atas kekayaanitu dan harus diberikan bagian yang wajar daripadanya (al-‘Araf [7]: 10).
Pemilikan oleh seseorang  (secara benar) hanya bersifat relatif sebagaimana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan, untuk kepentingan umum (al-Hadid [57]: 7, al-Nur [24]: 33). Maka kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang-orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga (al-Ma’arij [70]: 24-25). Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan keinginan-keinginannya untuk dapat menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan kecakapan yang wajar, kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.

VII. Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
Dari seluruh uraian yang telah dikemukakan, dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa inti dari kemanusiaan yang suci ialah iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh (al-Tien [95]:6).
Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikan satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap prikemanusiaan. Sikap prikemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang berkesesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. Tetapi bagaimana hal itu harus dilakukan oleh manusia ?
Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerak ke depan demikian pula perjalanan umat manusia atau sejarah adalah gerak maju ke depan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada, yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (al-Qashash [28] :8 8). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hkum-hukum Tuhan (al-An’am [6]: 57). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan medereka ialah yang bergerak. Gerak itu tidak lain dari gerak maju ke depan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah seorang tradisionalis, apalagi reaksioner (al-Isra’ [17]:36). Dia menghendaki perobahan terus-menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencari kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan di dalam alam dari sejarah umat manusia.
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenran dalam hidupnya, sekalipun relatif, namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sajarah yang mesti dilalui oleh umat manusia dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri (Fushilat [41]:  53).
Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan apat berjalan di atas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikannya kepada kepatuhan yang tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Eesa (Fathir [35]: 28). Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (Mudjadalah [58]: 11).
Ilmu pengetahuan ialah pengetian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkannya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya yang agar dapat menguasai dan menggunakannya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi umat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kamampuan intelektualitas atau ratio (al-Jasiyah [45]: 13).
Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (Ali Imran [3]: 137). Hukum sejarah yang tetap (sunnatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kamanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang darinya dengan menuruti hawa nafsu (al-Syam [91]: 9-10).
Tetapi cara-cara perbaikan hidup hingga terus-menerus maju ke arah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang (Yusuf [12]: 111). Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya ke arah kamajuan dan kebaikan.

VIII. Kesimpulan dan Penutup
Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sebagai berikut:
a.         Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya yaitu taqwa. Iman dan taqwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu memancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal soleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam berperadaban dan berbudaya.
b.         Iman dan taqwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang teguh kepada kebenaran sebagaimana yang dikehendaki oleh hati nurani yang hanief. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara ibadah menjadi wewenang penuh dari agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadah yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia  akan kedudukannya ditengah alam dan masyarakar sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan kamanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai makhluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun  orang lain. Dengan ibadah manusia dididik untuk memiliki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat  ikhlas, yaitu pemurnian pengabdian kepada Kebenaran semata.
c.         Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yang sungguh-sungguh secara essesial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang  maupun waktu.  Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usah itu ialah amar ma’ruf, di samping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan atau “nahi munkar”. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha-usaha kearah peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
d.         Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan “jihad”, yaitu sikap hidup berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan, dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh dan kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi, dan oleh sikap tegas kepada musuh-musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
e.         Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuangan kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu manusia harus mengetahui arah yang benar dari perkembangan peradaban di segala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahuan harus didasari dengan sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan di antaranya yang baik.
f.          Dengan demikian tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu : “beriman, berilmu, dan beramal”.
Rujukan NDP
Dar-dasar kepercayaan
AnNahl ayat 80, Al-Ikhlas, Alhadid ayat 3-4, Albaqarah ayat 113, Al-An’am ayat 73, Al-Furqan ayat 2, Al-Mu’minun ayat 14, Luqman 20, Yunus ayat 101, Shad ayat 27, At-Tin ayat 4, Al-Isra ayat 70, Al-An’am ayat 165, Hud ayat 61, Al-Ahzab ayat 72, Al-‘Ankabut ayat 20, Al-Qashash ayat 88, Al-Isra’ ayat 36, Al-Mujadalah ayat 11, As-Sajadah ayat 37, Al-Fatihah ayat 4, Al-Hajj ayat 56, Al-Muknin ayat 16, Al-Baqarah ayat48, Al-‘Araf 187.
Pengertiandasr tentang kemanusiaan
Ar-Ruum ayat 30, Adz-Dzariyah ayat 56, Ali Imran ayat  134 dan ayat 156, At-Taubah ayat105, An-najm ayat 39, As-Shof ayat2-3, An-Nahl ayat 97, An-Nisa ayat 111 dan ayat 125, Al-Ankabut ayat 6, Az-Zumar ayat 18, Al-baqarah ayat  207, 264, dan ayat 269, Al-An’am ayat 125, Al-Bayyinah ayat 5, Al-Insan ayat 8-9, Fathir ayat 10.
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)
Al-Anfaal ayat 25, Al-Baqarah ayat 48, Luqman ayat 33, Al-Hadid ayat 22-23, Ar-Raad ayat 11.
Ketuhanan YME dan Prikemanusiaan
Luqman ayat  13 dan ayat 30, Ali Imran ayat 19-21 dan ayat 64, Al-Ahzab ayat 39, Asy-Syu’araa ayat 226, An-Nuur ayat 39, At-Taubah ayat 109, Al-Qashash ayat 4, An-Nahl ayat 90.
Individu dan Masyarakat
Az-Zukhruf ayat 32, Al-Maidah ayat  2 dan ayat 48, Al-Lail ayat 4, Al-Isra’ ayat 84, Az-Zumar 39, Yusuf ayat 53, Ar-Ruum 29, Al-Zalzalah ayat 7-8, At-Taubah ayat 74, An-Nahl ayat 30, Asy-Syu’araa ayat 69, Al-Hujarat ayat 13 dan ayat 10.
Keadilan Sosial dan Ekonomi
Al-lail ayat 8-10, Al-Maidah ayat 8 dan ayat 45, Ali-Imroon ayat 104 dan ayat110, Asy-Syuraa ayat 38 dan ayat 42, An-Nisa ayat 58-59, Al-Hadiid  ayat 7 dan ayat 20,  Al-Isra’ ayat 16, An-Nisa’ ayat 160-161, Asy-Syu’araa ayat 182-183, Al-Baqarah ayat 279, Al-Humazah ayat 1-3, Ash-Shaf ayat 2-3, Al-Ankabut ayat 45, Luqman ayat 30, Ar-Ruum ayat 37, At-Taubah ayat 60, Al-Baqarah ayat 188, Al-Furqaan ayat 67, Al-Isra’ ayat 16, Muhammad ayat 38, Yunus ayat 55, Al-A’raaf ayat 10, An-Nuur ayat 33, Al-Ma’aarij ayat 24-25.
Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
At-Tiin ayat 6, Al-Qashash ayat 88, Al-An’am ayat 57, Al-Isra’ ayat 36, As-Sajadah ayat 53, Fathir 28, Ali-Imran ayat 18 dan ayat 137, Al-Mujadalah ayat 11, Al-Jatsiyah ayat 13, Asy-Syams 9-10, Yusuf ayat 111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar