Senin, 21 Mei 2012

Perangsang Bernama NDP


Oleh: Maulana Ainul Asry*

“Jika memang kesuksesan para senior didapat dari aktivitas mereka di HMI, aktivitas itulah yang harus kita tiru”.
-M. Wahyuni Nafis

Jika ada yang bertanya organisasi kemahasiswaan apa yang paling tua dan berpengaruh di Indonesia, tanpa unsur berlebihan, barangkali sontak jawabannya ialah: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Namun kemudian pertanyaan muncul kembali: apa buktinya? Lebih lanjut dan paling diburu: apa yang menyebabkan itu?
Pertanyaan semacam inilah yang coba saya ungkap. Ini menjadi penting, sebab di tengah-tengah kemundurannya, mencari tahu pangkal penyebab keunggulan HMI merupakan tugas pokok para kader untuk kemudian menerapkannya, demi kemajuan kembali sang hijau hitam. Di akhir-akhir tulisan, saya akan mencoba memberi solusi kecil-kecilan terhadap kemunduran HMI saat ini.

Kiprah HMI
Pertanyaan pertama bisa kita jawab dengan menyebut nama-nama kader HMI yang sukses menggoreskan perannya hingga tingkat nasional, baik dalam dunia politik maupun jagad akademis. Tokoh-tokoh seperti Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, Ahmad Syafii Maarif, Jusuf Kalla, Din Syamsuddin, Akbar Faisal, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Bachtiar Effendy, serta sederet nama lain menjadi bukti dari peran HMI dalam skala nasional.
Dari itu, keberadaan HMI sebagai sebuah organisasi mahasiswa dapat dikatakan begitu memainkan peranan penting. Sejumlah nama-nama kadernya, seperti disebutkan di atas, membuat kita mengangguk seraya menepuk dada atas kecemerlangan ini. Berkaca pada sejarah, dapat kita telusuri torehan tinta emas HMI.
Seperti ditulis Agussalim Sitompul, latar belakang didirikannya HMI berkait erat dengan konteks zaman yang dialami para pendiri ketika itu. Terdapat tujuh alasan inti yang masing-masing menunjukkan itikad luhur mereka (Modul LK I HMI Cabang Ciputat 2011-2012).
-          Mempertahankan kemerdekaan.
-          Kejumudan umat terhadap pengetahuan mengenai ajaran islam.
-          Munculnya polarisasi politik.
-          Berkembangnya paham komunis.
-          Posisi strategis dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan.
-          Pluralitas sosial bangsa Indonesia.
-          Tuntutan modernisasi dan tantangan masa depan.

Di awal-awal terbentuk, peran sentral HMI sebagai organisasi ialah membantu Republik mempertahankan kemerdekaan. Saat masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, dimana kabut gelap membawahi suasana politik, HMI turut membantu pemerintah menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lazim dianggap sebagai dalang dibalik peristiwa Gerakan 30 September ketika itu.
Beranjak ke Orde Baru kiprahnya tak kunjung surut. Di masa inilah, bak jamur di musim hujan, lahir berbagai kader berkapasitas jempolan seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Saiful Mujani, Fachry Ali, serta nama-nama lain. Pasca Orde Baru performa kader HMI pun tetap menawan. Akademisi seperti Burhanuddin Muhtadi, Indra Jaya Piliang, hingga M. Alfan Alfian keluar mencuat ke permukaan.
Ke semua kiprah gemilang inilah yang menjadi bukti dari sinar HMI yang terus berpijar. Demikian besarnya aroma HMI dalam dunia akademisi, Yudi Latif bahkan menyusun disertasi yang menyiratkan peranan besar kader-kader HMI dalam ranah keilmuan. Tak cuma itu, dalam politik, jejak langkah HMI juga signifikan. Organisasi-organisasi kemahasiswaan lain yang selama ini dianggap musuh, nyatanya juga didirikan oleh aktivis HMI sendiri. PMII misalkan, didirikan oleh Mahbub Djunaedi yang ketika PMII didirikan masih menjabat sebagai wakil ketua HMI. IMM hampir sama. Para pendirinya, termasuk Amien Rais, ternyata juga seorang HMI (Latif, 2005). Selain itu masih ada KAMMI, yang jika dirunut ke belakang terdapat peran besar seorang Imaduddin Abdul Rahim, seorang tokoh HMI Bandung, dalam mengembangkan sayap-sayap organisasi mereka (Muhtadi, 2012).
Namun, seperti konsep hukum organismik sebuah negara menurut Aristoteles, sebuah organisasi pun mengalami hal sama. Dalam “fatwa”-nya, Aristoteles menyatakan bahwa tumbuh kembang sebuah negara sama halnya dengan perkembangan manusia. Negara lahir, tumbuh, berkembang, mengalami masa keemasan, mulai korup, hingga terbenam alias tumpur bin gagal menjaga kesejahteraan (Suhelmi, 2007).
Fenomena semacam ini, bagi saya, pun terjadi pada organiasi, termasuk HMI. Namun kita tak mesti tertunduk lesu. Masih dalam konsep Aristoteles, setelah terbenam, negara lahir dan bangkit kembali. Begitupun dengan organisasi. Setelah melempem bak ayam kehilangan taji, ia dapat tumbuh dan bangkit kembali.
Permasalahannya adalah, bagaimana mewujudkan revivalisme itu? Dan sebelum ke sana, mencari tahu penyebab kemajuan dan kemunduran HMI menjadi prioritas, agar dapat menjadi tolak ukur perkaderan di masa mendatang.


Formula NDP
            Pasca proklamasi kemerdekaan, mahasiswa kita terlihat aktif dalam politik. Kondisi semacam ini wajar, mengingat sedari awal peran pemuda kita begitu dominan berjuang demi kemerdekaan (Anderson, 1988). Menariknya, sikap seperti ini disertai dengan semangat keilmuan. Inilah yang menyebabkan begitu melesatnya kiprah pendahulu HMI.
            Beralih ke masa Orde Baru sedikit berbeda. Soeharto berhasil menjauhkan mahasiswa dari pusaran politik kenegaraan dengan diterapkannya NKK-BKK. Namun semangat keilmuan mereka tetap membara. Artinya, Soeharto hanya berhasil memutus tali keaktifan politik mereka, tetapi tidak dengan keaktifan di bidang keilmuan. Akibatnya, para kader lebih fokus pada keilmuan. Dalam lingkup Ciputat, dibuktikan dengan lahirnya berbagai forum kajian (Modul LK I HMI Cabang Ciputat 2011-2012).
            Ini semua membuktikan bahwa ghirah keilmuanlah yang mendorong HMI berjaya. Syukurnya, dengan ditetapkannya Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai “penunjuk arah” perjalanannya, seakan memberi “stempel” atmosfer keilmuan dalam diri HMI. Ia menjadi semacam penghambat laju sikap hedon di kalangan pemuda kita di tengah-tengah derasnya arus globalisasi. NDP, dengan metode dekonstruksi-rekonstruksi imannya, sejatinya telah merangsang daya nalar. Pasalnya, masalah agama dan keyakinan selalu sensitif untuk dibahas, hingga tak jarang memancing emosi para kader. Dalam keadaan emosi yang seperti inilah, sejatinya seseorang merasa penasaran, ingin tahu, hingga kemudian membaca dan mendalami keilmuan.
Sikap penasaran seperti ini yang pada dasarnya membantu ilmu pengetahuan berkembang. Maka sudah tepat, bila dalam LK I, aspek penilaian paling besar tersemat pada dimensi afektif, yakni perubahan sikap. Artinya, setelah mengikuti LK, para kader diharapkan terangsang untuk mencari tahu, bergulat dalam ilmu pengetahuan. Sementara aspek lain seperti kognitif dan psikomotorik masing-masing mendapat jatah 30 % dan 20 %, afektif diberi porsi 50 %.
            Uraian di atas setidaknya mampu menggambarkan penyebab masa keemasan perkaderan HMI. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang menyebabkan kita mundur? Jawabannya tiada lain: iklim politik yang demikian kental dalam tubuh HMI. Sebagai akibat, semangat keilmuan tak lagi jadi nomor satu. Di sinilah peran NDP sebagai “perisai” dipertanyakan. Mengapa ia tidak lagi bertaji?
            Terdapat jawaban sekaligus solusi sederhana yang bisa menjelaskan. Pertama, tersedia penyampaian materi yang lebih menarik peserta. NDP sebagai jantung dari perkaderan HMI tentu perlu disajikan lebih menarik. Metode penyampaian oleh pemateri menjadi penting, sebab di sinilah tolak ukur sukses atau tidaknya perkaderan. Jika pemateri gagal merangsang peserta, maka gagal pulalah perkaderan.
Kedua, menambahkan argumen sosiologis dalam menjelaskan NDP. Untuk kerangka teologis, substansi yang terdapat dalam NDP boleh dikata tak dapat diragukan. Tetapi ini juga tidak kalah penting, agar kader mengerti situasi sosial yang mereka hadapi sekarang seperti apa, mereka berada di posisi mana, dan harus berjuang dalam ranah apa. Kondisi sosial yang dihadapi Cak Nur di masanya, 41 tahun silam, tentu berbeda dengan yang kita hadapi sekarang. Apakah ini bisa dijelaskan hanya oleh kerangka teologis? Tentu tidak. Jika membaca naskah NDP, salah satu kekurangannya ialah tidak adanya kerangka sosiologis yang dipakai Cak Nur. Padahal, untuk sebuah gerakan sosial seperti HMI, ini tentu menjadi keharusan.
Ketiga, menetapkan tujuan atau lawan tanding. Sebuah gerakan sosial, tentu bergerak bukan tanpa landasan. Ia tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai. Ketika tujuan sudah jelas, itulah yang dengan sendirinya akan menentukan lawan tanding. Tujuan yang dimaksud bukan hanya yang tertera pada BAB III Pasal IV Angaran Dasar kita, tetapi menetapkan lawan tanding. HMI pada pasca kemerdekaan dan Orde Baru berhasil memainkan peranan ini. Ketika baru merdeka, tujuan jelas menyasar pada penjajah hingga kelompok berhaluan komunis. Ketika Orde Baru, “gelar” lawan disematkan Cak Nur pada gerakan Islam konservatif seperti Lembaga Mujahid Dakwah (LMD). Zaman kini, praktis tidak kita ketahui, dan memang tidak jelas siapa yang ingin kita tandingi.
Hal itu terjadi akibat terlalu kentalnya nuansa politis dalam diri Himpunan. Alih-alih ingin melawan kelompok di luar HMI, dalam diri HMI sendiri ironisnya terjadi faksionalisasi yang demikian akut. Contoh nyata dapat kita lihat saja di tingkatan lanskap kecil seperti komisariat. Kader berjuang tidak lagi demi perjuangan HMI itu sendiri, akan tetapi demi kelompok masing-masing. Jika sudah begini, menantikan kejayaan kembali HMI ibarat pungguk merindukan bulan.
Menciptakan iklim yang sehat secara akademis merupakan tugas pokok para pengurus dan kader, juga panitia di saat program-program pelatihan seperti LK berjalan. Perangsang bernama NDP terus memerlukan perbaikan. Pada titik inilah, itikad merawat dan memperbaiki Himpunan menjadi tugas pokok. Dengan mewujudkan ketiganya, HMI tidak saja berperan sebagai kampus kedua, namun malah bisa menjadi kampus pertama.


*Kader HMI KOMPERFISIP (Komisariat Persiapan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Cabang Ciputat, LK di KOMFUF (Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat), mahasiswa Ilmu Politik semester IV FISIP UIN Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar