Oleh. Shodiq Adi
Winarko
Penting
bagi rakyat Indonesia untuk kembali mengenang tragedi nasional 1998. Kerusuhan
yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 hingga kini masih menyisakan banyak noda
kemanusiaan, terutama bagi keluarga para korban.
Bahkan,
wajib rasanya untuk kita kembali menguak fakta kejadian 1998. Selain sebagai pembelajaran
untuk membina bangsa yang lebih adil dan beradab, juga upaya penegakan keadilan
yang sengaja disamarkan.
Nietzsche
pernah berujar, “sejarah kerap ditilik sebagai rangkaian upaya retroaktif tak
berkesudahan. Makhluk-makhluk perkasa berkebangsaan manusia melawan historia
abscondita, melawan sejarah yang kelam, yang seakan mencoba menggembok
rahasianya di balik dinding-dinding peristiwa masa lalu.” (FW Nietzsche: 1974
(1887), The Gay Science).
Membuang
ingatan 98 sama halnya dengan menolak tegakknya keadilan di Indonesia. Sebab,
anamnesis tragedi Mei 1998 merupakan sebuah narasi perjuangan manusia untuk mengkodifikasikan
ingatan, sekaligus menampik amnesia massal atas rekam jejak berbagai peristiwa
yang melintasinya.
Tidak
banyak orang mengetahui kebenaran tragedi 98 yang telah dimutasi dari fakta menjadi misteri. Berbagai
fakta sengaja disembunyikan agar terhindar dari pengakuan hukum yang tumpul.
Faktanya, hingga kini tragedi yang menelan beribu nyawa tak kunjung mendapatkan
pengakuan politik sebagai kejahatan HAM. Entah apa alasannya. Lebih dari itu,
ternyata perjuangan para aktivis 1998
hingga kini masih menjadi harapan abal-abal, dan rakyat harus mengamininya.
Krisis Kemanusiaan
1998
Tentu masih melekat di benak
kita, keberanian para pejuang 98. Barisan
demonstran yang siap bertarung melawan rezim monolit, represif dan tertutup,
rela mati demi tegaknya bangsa yang adil dan beradab. Kala itu, ribuan massa
dari berbagai aliansi mahasiswa turun ke jalan menyuarakan suara nasionalisme.
Diduga,
model masyarakat yang komplek menjadi awal mula timbulnya amarah rakyat. Sentimen
primordial yang sangat kuat telah dijadikan alat bagi pemerintah untuk mengadu
domba. Sehingga, pemerintah mampu melakukan segala tindakan represifnya dengan
semena-mena.
Namun,
apapun alasannya, tetap saja kerusuhan 98 merupakan tragedi
nasional yang telah menodai rasa kehormatan, kemanusiaan, dan peradaban bangsa
Indonesia. Ada dua sisi terkait krisis kemanusiaan tragedi 98.
Pertama,
krisis kemanusian para korban 98. Coba kita cermati, bagaimana mungkin hati
nurani kita sanggup menerima saat seseorang dibakar hingga kita tak sanggup lagi
mengenalinya sebagai manusia. Belum lagi mereka para etnis Tionghoa yang
mengalami pelecehan seksual, atau pun fenomena pengrusakan infrastruktur dan
penjarahan toko.
Sungguh pemandangan yang memilukan.
Sebuah tragedi yang ternyata tidak jauh berbeda dengan nasib Yesus yang
dipertontonkan Pontius Pilatus sebelum mengundinya dengan Barabas di hadapan
massa. Ecce homo! Pandanglah manusia yang rusak itu!
Alih-alih ingin mengadu nasib kepada
hukum yang absolut sebagai instrument kebenaran, hukum justru dijadikan alat
impunitas para penjahat kemanusiaan. Para korban 98 banyak yang malah dijadikan
terdakwa, dengan alasan pembuat onar, pembangkang atau pun penjarah. Tak ayal
jika sekarang pun hukum belum mampu menjamin perlindungan bagi rakyat
minoritas.
Realita ini juga tidak jauh berbeda
dengan tragedy Holocaust, dalam One
Generation After (1982). Bagaimana saat para korban mencoba membeberkan
kebenaran, namun ditempis oleh masyarakat karena dugaan kebohongan belaka.
Sungguh ironi.
Di sisi kedua, krisis kemanusiaan
juga dialami oleh para demonstran 98 beserta pihak aparat. Bagaimana bisa para
aparat yang seyogyanya menjadi pendamping dan pelindung masyarakat, justru
menganggap warga sipilnya sebagai musuh. Tanpa gentar mereka menghujani para
demonstran dengan peluru. Bahkan dengan sadar mereka merayakan kemenangannya
saat berhasil memukul mundur para demonstran.
Keberadaan aparat terutama tentara,
dalam hal ini memang seperti pedang bermata dua. Di satu sisi mereka sangat
dibutuhkan untuk menegakkan kedaulatan negara, sera melindungi Negara. Namun di
sisi lain, ternyata tentara juga menjadi ancaman bagi keamanan dan kestabilan
Negara. Dengan senjatanya, mereka mudah mendominasi kelompok-kelompok tak
bersenjata, juga nekad memerangi kaum sipilnya sendiri.
Tidak
cukup dengan itu, bahkan para demonstran yang terhitung sebagai warga sipil
juga ikut mengalami krisis kemanusiaan. Saat korban demonstrasi mulai
berjatuhan, para demonstran kembali turun ke jalan untuk membalas dendam,
terkait kematian sahabat seperjuangannya.
Di
sini lah titik krisis kemanusiaannya, niat mereka turun ke jalan bukan lagi
untuk membenahi situasi bangsa yang sedang bobrok. Namun hanya gerakan balas
dendam yang dipenuhi ambisi dan amarah. Sehingga, berat rasanya jika kita ingin
mengenang mereka sebagai patriot bangsa. Apalagi perjuangan reformasi yang
belum usai, justru ditinggalkan begitu saja pasca tragedi 98 itu.
Pertanyaannya,
mengapa krisis kemanusiaan harus terjadi? Bukankah demonstran, warga sipil
adalah manusia yang mempunyai hak-hak individual yang harus dilindungi dan diperjuangkan?
Begitu pun dengan para aparat, mereka juga manusia yang mempunyai hak-hak
individual. Lantas dimana solidaritas rakyat Indonesia? Bukankah negara yang Republik
mengharuskan rakyatnya untuk mempunyai jiwa solidaritas tinggi?
Maka,
Indonesia sekarang harus bisa merefleksikan dirinya. Indonesia harus juga
menyadari bahwa oknum-oknum otoriter agaknya masih ada di lembaga-lembaga
publik, dan praktek-praktek seperti kekerasan militer, kerahasiaan, dan korupsi
masih terus menghadang proses reformasi.
Dengan
anamnesis tragedi Mei 1998, diharapkan solidaritas rakyat Indonesia akan
kembali terpupuk. Karena tidak bisa dipungkiri, solidaritas rakyat Indonesia
pernah terbina sangat kuat, yakni di masa-masa kolonial. Hal ini terlihat jelas
saat Sutan Syahrir memimpin upacara pengiriman beras ke India, sebagai bantuan krisis
kelaparan rakyat India. Beribu-ribu ton beras berhasil dihimpun dari tangan
rakyat Indonesia tanpa ada paksaan sedikitpun. Sungguh solidaritas masyarakat
Indonesia yang merupakan keniscayaan bagi kita semua.
Penulis adalah Pegiat Politik di Sekolah Demokrasi KID
Tangerang Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar