Senin, 21 Mei 2012

Menyoal Krisis Kemanusiaan 98


Oleh. Shodiq Adi Winarko
            Penting bagi rakyat Indonesia untuk kembali mengenang tragedi nasional 1998. Kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 hingga kini masih menyisakan banyak noda kemanusiaan, terutama bagi keluarga para korban.
            Bahkan, wajib rasanya untuk kita kembali menguak fakta kejadian 1998. Selain sebagai pembelajaran untuk membina bangsa yang lebih adil dan beradab, juga upaya penegakan keadilan yang sengaja disamarkan.
Nietzsche pernah berujar, “sejarah kerap ditilik sebagai rangkaian upaya retroaktif tak berkesudahan. Makhluk-makhluk perkasa berkebangsaan manusia melawan historia abscondita, melawan sejarah yang kelam, yang seakan mencoba menggembok rahasianya di balik dinding-dinding peristiwa masa lalu.” (FW Nietzsche: 1974 (1887), The Gay Science).
Membuang ingatan 98 sama halnya dengan menolak tegakknya keadilan di Indonesia. Sebab, anamnesis tragedi Mei 1998 merupakan sebuah narasi perjuangan manusia untuk mengkodifikasikan ingatan, sekaligus menampik amnesia massal atas rekam jejak berbagai peristiwa yang melintasinya.
Tidak banyak orang mengetahui kebenaran tragedi 98 yang telah dimutasi dari fakta menjadi misteri. Berbagai fakta sengaja disembunyikan agar terhindar dari pengakuan hukum yang tumpul. Faktanya, hingga kini tragedi yang menelan beribu nyawa tak kunjung mendapatkan pengakuan politik sebagai kejahatan HAM. Entah apa alasannya. Lebih dari itu, ternyata  perjuangan para aktivis 1998 hingga kini masih menjadi harapan abal-abal, dan rakyat harus mengamininya.
Krisis Kemanusiaan 1998
            Tentu masih melekat di benak kita, keberanian para pejuang 98. Barisan demonstran yang siap bertarung melawan rezim monolit, represif dan tertutup, rela mati demi tegaknya bangsa yang adil dan beradab. Kala itu, ribuan massa dari berbagai aliansi mahasiswa turun ke jalan menyuarakan suara nasionalisme.
            Diduga, model masyarakat yang komplek menjadi awal mula timbulnya amarah rakyat. Sentimen primordial yang sangat kuat telah dijadikan alat bagi pemerintah untuk mengadu domba. Sehingga, pemerintah mampu melakukan segala tindakan represifnya dengan semena-mena.
            Namun, apapun alasannya, tetap saja kerusuhan 98 merupakan tragedi nasional yang telah menodai rasa kehormatan, kemanusiaan, dan peradaban bangsa Indonesia. Ada dua sisi terkait krisis kemanusiaan tragedi 98.
Pertama, krisis kemanusian para korban 98. Coba kita cermati, bagaimana mungkin hati nurani kita sanggup menerima saat seseorang dibakar hingga kita tak sanggup lagi mengenalinya sebagai manusia. Belum lagi mereka para etnis Tionghoa yang mengalami pelecehan seksual, atau pun fenomena pengrusakan infrastruktur dan penjarahan toko.
            Sungguh pemandangan yang memilukan. Sebuah tragedi yang ternyata tidak jauh berbeda dengan nasib Yesus yang dipertontonkan Pontius Pilatus sebelum mengundinya dengan Barabas di hadapan massa. Ecce homo! Pandanglah manusia yang rusak itu!
            Alih-alih ingin mengadu nasib kepada hukum yang absolut sebagai instrument kebenaran, hukum justru dijadikan alat impunitas para penjahat kemanusiaan. Para korban 98 banyak yang malah dijadikan terdakwa, dengan alasan pembuat onar, pembangkang atau pun penjarah. Tak ayal jika sekarang pun hukum belum mampu menjamin perlindungan bagi rakyat minoritas.
            Realita ini juga tidak jauh berbeda dengan tragedy Holocaust, dalam One Generation After (1982). Bagaimana saat para korban mencoba membeberkan kebenaran, namun ditempis oleh masyarakat karena dugaan kebohongan belaka. Sungguh ironi.
            Di sisi kedua, krisis kemanusiaan juga dialami oleh para demonstran 98 beserta pihak aparat. Bagaimana bisa para aparat yang seyogyanya menjadi pendamping dan pelindung masyarakat, justru menganggap warga sipilnya sebagai musuh. Tanpa gentar mereka menghujani para demonstran dengan peluru. Bahkan dengan sadar mereka merayakan kemenangannya saat berhasil memukul mundur para demonstran.
            Keberadaan aparat terutama tentara, dalam hal ini memang seperti pedang bermata dua. Di satu sisi mereka sangat dibutuhkan untuk menegakkan kedaulatan negara, sera melindungi Negara. Namun di sisi lain, ternyata tentara juga menjadi ancaman bagi keamanan dan kestabilan Negara. Dengan senjatanya, mereka mudah mendominasi kelompok-kelompok tak bersenjata, juga nekad memerangi kaum sipilnya sendiri.
Tidak cukup dengan itu, bahkan para demonstran yang terhitung sebagai warga sipil juga ikut mengalami krisis kemanusiaan. Saat korban demonstrasi mulai berjatuhan, para demonstran kembali turun ke jalan untuk membalas dendam, terkait kematian sahabat seperjuangannya.
Di sini lah titik krisis kemanusiaannya, niat mereka turun ke jalan bukan lagi untuk membenahi situasi bangsa yang sedang bobrok. Namun hanya gerakan balas dendam yang dipenuhi ambisi dan amarah. Sehingga, berat rasanya jika kita ingin mengenang mereka sebagai patriot bangsa. Apalagi perjuangan reformasi yang belum usai, justru ditinggalkan begitu saja pasca tragedi 98 itu.
Pertanyaannya, mengapa krisis kemanusiaan harus terjadi? Bukankah demonstran, warga sipil adalah manusia yang mempunyai hak-hak individual yang harus dilindungi dan diperjuangkan? Begitu pun dengan para aparat, mereka juga manusia yang mempunyai hak-hak individual. Lantas dimana solidaritas rakyat Indonesia? Bukankah negara yang Republik mengharuskan rakyatnya untuk mempunyai jiwa solidaritas tinggi?
Maka, Indonesia sekarang harus bisa merefleksikan dirinya. Indonesia harus juga menyadari bahwa oknum-oknum otoriter agaknya masih ada di lembaga-lembaga publik, dan praktek-praktek seperti kekerasan militer, kerahasiaan, dan korupsi masih terus menghadang proses reformasi.
Dengan anamnesis tragedi Mei 1998, diharapkan solidaritas rakyat Indonesia akan kembali terpupuk. Karena tidak bisa dipungkiri, solidaritas rakyat Indonesia pernah terbina sangat kuat, yakni di masa-masa kolonial. Hal ini terlihat jelas saat Sutan Syahrir memimpin upacara pengiriman beras ke India, sebagai bantuan krisis kelaparan rakyat India. Beribu-ribu ton beras berhasil dihimpun dari tangan rakyat Indonesia tanpa ada paksaan sedikitpun. Sungguh solidaritas masyarakat Indonesia yang merupakan keniscayaan bagi kita semua.
Penulis adalah Pegiat Politik di Sekolah Demokrasi KID Tangerang Selatan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar