oleh Ali Topan DS (Ketua Umum HMI KOMFUF 2011-2012)
Masih
lekat dalam ingatan masyarakat Indonesia, sejak pertengahan bulan maret lalu, hampir
semua media elektronik maupun cetak gencar dengan pemberitaan seputar kenaikan
harga BBM. Hingga pasca sidang paripurna yang memutuskan naik atau tidaknya
harga BBM, masyarakat tetap larut dalam isu kencang tersebut. Ditambah lagi
sidang yang diwarnai kericuhan para anggota dewan perwakilan rakyat. Persoalan
kenaikan harga BBM juga berkaitan erat dengan soliditas hubungan antar partai
koalisi pendukung pemerintah SBY. Karena terdapat anggota partai koalisi yang
tidak sejalan dengan ide pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Fakta diatas
barangkali menjadi konsumsi publik belakangan kemarin.
Berbeda
dengan pemberitaan media sebelumnya, kali ini masyarakat Indonesia di buat
resah dengan beberapa kasus anarkis geng motor. Anggota yang tergabung geng
motor rata-rata usia pelajar setingkat SMA atau bahkan SMP. Hal ini tentu
sangat disayangkan. Karena pada saat ini seharusnya mereka konsentrasi menghadapi
ujian nasional.
Di
Ibu Kota Jakarta para geng motor kerap melakukan balap liar di malam hari.
Lebih dari itu, kali ini mereka juga melakukan tindakan anarkis dan criminal dengan
merampok disebuah mini market. Selain merampok, para anggota geng tersebut
tidak segan-segan menganiaya penjaga mini market. Selain di Jakarta, kasus
serupa juga terjadi di Tangerang Selatan, Bandung dan Makassar. Aksi anarkis
dan tawuran antara dua kelompok geng motor yang terjadi di Makassar pun menelan
korban jiwa.
Penulis
mengamati, bahwa aksi tawuran yang kerap terjadi biasanya dipicu dendam lama
atau yang pernah menimpa sebelumnya. Sehingga tawuran kemudian menjadi tradisi
bagi mereka. Keamanan yang diberikan oleh pihak penegak hukum juga dirasa
kurang. Karena beberapa aksi balap liar atau perampokan tidak terjadi
belakangan ini. Selain itu, tidak jarang dari aksi tawuran yang terjadi akibat perbedaan
pendapat antar satu kelompok dengan lainnya. Para pelaku tawuran juga
iresponsif terhadap somasi dari aparat keamanan.
Sungguh
sebuah ironi. Bangsa Indonesia harus menerima kenyataan prilaku negatif yang
dilakukan anak muda penerus bangsa; kericuhan akibat disparitas pendapat dalam
sidang DPR; serta melihat nyawa melayang akibat ulah tak bertanggung jawab
kelompok tertentu. Inilah problem dan fakta lapangan yang harus segera
diakhiri. Jika dibiarkan demikian, maka sebutan “Republik Anarki” layak
disandang Indonesia.
Melihat
disharmoni yang terjadi dikalangan masyarakat, sudah semestinya masyarakat
Indonesia memahami kembali nilai-nilai kebangsaan. Pancasila ketiga yang
berbunyi Persatuan Indonesia, harus diaplikasikan dalam perbuatan, bukan
sekedar dihapal. Keragaman dan heterogenitas masyarakat bukan alasan untuk
saling berpecah belah. Seharusnya hal ini menjadi titik pijakan dalam merajut
satu kesatuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar