Rabu, 11 April 2012

Pengaturan Subsidi BBM, Benarkah untuk Kemakmuran Rakyat?


Oleh: Ali Topan DS (Ketua Umum HMI KOMFUF 2011-2012)
Melekat kuat dalam ingatan masyarakat Indonesia, memori ketuk palu pemutusan kenaikan harga BBM dalam sidang paripurna DPR akhir Maret lalu. Berita hangat seputar kenaikan harga BBM santer dijadikan bahan obrolan di setiap penjuru publik. Mulai dari beberapa stasiun televisi, media cetak, hingga forum-forum diskusi mahasiswa. Walhasil, semua elemen masyarakat pun larut dalam hiruk-pikuk pro dan kontra kenaikan harga BBM.
Kabar serta wacana kenaikan harga BBM memang telah lama terdengar, jauh sebelum sidang paripurna dilaksanakan. Jauh hari pula, masyarakat telah aktif menyuarakan aspirasinya. Terlihat bagaimana ribuan massa turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi, menolak kenaikan harga BBM. Bukan hanya para oposan pemerintah, kalangan koalisi pun ikut andil dalam menyuarakan aspirasinya dengan turun ke jalan. Tidak jarang aksi tersebut berujung dengan tindak anarkis yang memakan korban. Pengamat ekonomi dan politik juga tidak ketinggalan. Mereka kerap mewarnai layar kaca dan ruang opini media cetak, menyoal dan mengamati keputusan yang akan diambil pemerintah dalam menaikkan harga BBM.
Pernyataan kenaikan BBM di awal tahun ini, sebagaimana di sampaikan oleh Arif Budimanta, salah seorang Koordinator Kaukus Ekonomi Konstitusi, memiliki dua alasan utama. Pertama, dinamika krisis keuangan global yang tak kunjung surut. Kedua, kenaikan harga minyak dunia yang memberi dampak pada rencana kenaikan BBM bersubsidi. Maka, tanpa adanya kenaikan harga BBM, kian berat beban yang akan dipikul pemerintah.
Lebih lanjut Arif Budimanta mengkritisi bahwa RAPBNP 2012 terjadi ketimpangan alpha (ongkos distribusi dan pajak Perusahaan Pertamina) yang cukup besar, yakni 11 persen, yang seharusnya 25 persen (Sebagaimana yang menjadi standar komponen alpha) menjadi 36 persen. Pemerintah mematok harga BBM per tahun 2012 jika tidak disubsidi mencapai kisaran Rp 9.325, apabila harga BBM bersubsidi dinaikkan Rp 6000, maka pemerintah menanggung subsidi sebesar Rp 3.325. Ongkos produksi Rp 5.947/liter. Sehingga ada selisih Rp 3.378/liter (harga nonsubsidi dikurangi harga ongkos produksi). Maka terdapat perbedaan 11 persen dari yang dikemukakan di awal. Jika di rupiahkan jumlah tersebut berkisar Rp 1.025. Seharusnya harga BBM nonsubsidi seharga Rp 8.300 (jika mengacu pada standar komponen alpha sebesar 25 persen).
Besarnya selisih 11 persen inilah yang mengundang pertanyaa. Tak ayal jika banyak pihak menuntut pemerintah untuk menjelaskan kemana besaran dana subsidi tersebut dialokasikan?. Padahal, jika nilai 11 persen atau setara dengan Rp 1.025/liter dikalikan dengan total BBM yang subsidi yakni 40 miliyar liter, maka total dana dari selisih 11 persen melebihi Rp 40 triliun.
Memang, kenaikan subsidi BBM yang dirancang pemerintah bukan tanpa alasan. Menteri Keuangan, Agus Martowardoyo memaparkan “Kenaikan BBM bersubsidi dipicu dari lonjakan pengguna atau konsumsi BBM.” Lebih lanjut, ia mengatakan “Subsidi BBM di Indonesia terbilang murah, sehingga terjadi banyak penimbunan dan penyelundupan. Masyarakat pengguna BBM nonsubsidi pun beralih ke BBM bersubsidi”.
Pemerintah berpendapat bahwa kenaikan BBM bersubsidi adalah untuk menyelamatkan APBN. Pemerintah juga telah merencanakan bahwa dana subsidi BBM akan dialokasikan untuk pengembangan beberapa sektor tertentu. Tidak hanya pemberian dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau yang sekarang disebut Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), yang dinilai banyak pihak kurang efektif. Tetapi pemerintah juga memperhatikan pembangunan infrastruktur energi dan revitalisasi transportasi umum.
Jika kenaikan harga BBM benar terjadi, pemerintah sudah pasang target untuk memberikan dana kompensasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), yakni serupa dengan BLT. Besaran dana tersebut 150.000/bulan selama 6 bulan (total Rp 900.000) yang diberikan kepada 18,5 juta rumah tangga.
Menyikapi hal ini, Bambang Susatyo, salah satu anggota Badan Anggaran dari fraksi Partai Golkar menilai bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk menaikkan pamor pemerintah (SBY). Menurutnya, kenaikan harga BBM masih dapat diperdebatkan. Dengan menaikkan harga BBM bersubsidi dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000, Negara akan menghemat subsidi dana sekitar Rp 53 triliun. Dari penghematan tersebut pemerintah membagi Rp 30,6 triliun untuk kompensasi dan Rp 23 triliun untuk tambahan belanja pemerintah. Menurut Bambang, jika BBM tidak dinaikkan, Rp 23 triliun untuk tambahan belanja pemerintah dapat dicari. Seperti penghematan pemerintah sebesar Rp 18,8 triliun pada tahun 2011 dan tambahan pemasukan pajak Rp 5 triliun.
Bambang menambahkan bahwa pemberian BLSM dinilai sarat dengan kepentingan politik menjelang pilpres 2014. Terlebih dari anggaran Rp 30,6 triliun hanya Rp 5 triliun untuk subsidi tranportasi. Dan sisanya Rp 25,6 triliun untuk BLSM.
Maka dalam hal ini, agaknya hipotesa penulis dapat dijadikan bahan pertimbangan. Bahwa untuk memakmurkan rakyat, bagian Rp 23 triliun dari dana Rp 53 triliun tidak perlu dialokasikan untuk tambahan belanja pemerintah. Cukup lah dana tersebut diperuntukkan bagi rakyat secara keseluruhan. Baik untuk subsidi transportasi, ataupun BLSM. Sehingga, harapan rakyat untuk makmur pun akan semakin jelas terlihat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar