Rabu, 11 April 2012

Kompensasi BBM dan Prakmatisme Partai


Oleh. Shodiq Adi Winarko (Penulis adalah Mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan Aktifis HMI Komfuf.)
Rencana pemerintah menaikkan harga BBM telah menimbulkan kegeraman di tengah  masyarakat. Berbagai aliansi rakyat bergabung dalam satu visi, menggagalkan rencana kenaikan harga BBM. Mahasiswa yang dalam hal ini berdiri di garda terdepan, terus berupaya menggalakkan banyak massa untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Bahkan disinyalir, aksi protes BBM ini akan berakhir seperti tragedi 1998.
            Ketua Fraksi Hanura, Wiranto, menjadi sosok tunggal yang dicap media sebagai pemberontak. Wakil Sekjen DPP PD Ramadhan Pohan sempat pula menuding Ketua Umum DPP Partai Hanura itu berada di belakang gerakan penggulingan SBY, dengan memanfaatkan isu kenaikan harga BBM.
            Terlepas dari benar tidaknya upaya pelengseran SBY, agaknya sikap cemas SBY pantas dijadikan pertanda. Terlihat dari statemennya, SBY mengamini adanya upaya pelengseran terhadap dirinya sendiri. Lantas sebenarnya, siapakah yang berani menjamin jika harga BBM tidak naik maka perekonomian Indonesia akan stabil?
            Dan, jika rencana kenaikan harga BBM benar nyata adanya, apakah jaminan kompensasi pemerintah pantas dijadikan solusi?
Kompensasi BBM
            Anas pernah berujar “ada dua perbedaan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan presiden lainnya, terkait kebijakan kenaikan harga BBM. Pertama, presiden sebelum Presiden SBY, kebijakan kenaikan harga BBM tidak dibarengi dengan program-program perlindungan untuk rakyat kecil.
            Perbedaan kedua, tidak ada presiden lain selain Presiden SBY, yang pernah menurunkan harga BBM bersubsidi setelah menaikkannya.” Kata Anas pada acara silaturahmi SBY dengan jajaran PD di Puci Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Minggu (18/2012).
            Memang berbeda kebijakan SBY menaikkan harga BBM dengan deretan presiden sebelumnya, selain BJ Habibie. Kebijakan presiden-presiden sebelum SBY agaknya hanya untuk menyelamatkan keuangan negara saja, tanpa dibarengi adanya kompensasi.
            Sedangkan SBY, kebijakannya menaikkan harga BBM telah dibarengi dengan kompensasi. Di antaranya terdapat program bantuan langsung, penambahan raskin, beasiswa, dan sarana transportasi. Inilah yang dijadikan landasan dasar dukungan Anas terhadap kebijakan SBY, terkait menaikkan harga BBM.
            Namun ingat, dalam hal ini, BLT bukan lah harapan tunggal rakyat. Bahkan sebenarnya rakyat tidak menghendaki adanya BLT sebagai jawaban kenaikan harga BBM. BLT hanya merupakan sebuah pemberian yang terpaksa harus diambil rakyat. Meminjam istilah KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, “innal mubadzirina kaanu ikhwana Syayathin.” Sebuah landasan yang memang benar adanya.
            Bagi kebanyakan orang, dana kompensasi ini masih bisa dimaklumi jika benar bisa berhasil menyentuh semua rakyat kecil tanpa terkecuali. Apalagi jika dampak kenaikkan harga BBM yang melanda rakyat, dapat terus diobati dengan program kompensasi ini. Tentu bukan sementara, melainkan dalam jangka waktu sebatas kenaikan harga BBM berlaku.
Hanya dengan begitu, setidaknya luka hati rakyat dapat terobati. Sebab, manakala dana kompensasi hanya bersifat sementara, maka hal BLT tidaklah berbeda dengan hiburan rakyat semata dan tidak akan menjadi alternatif solusi yang baik.
            Lalu bagaimana dengan proses pelaksanaannya? Mampukah pemerintah memastikan bahwa dana kompensasi BBM senilai kurang lebih Rp 25 Trilyun itu sampai di tangan rakyat miskin tanpa terkecuali?
            Mari kita ambil masalah raskin. Sering dalam kenyataannya, raskin yang diterima masyarakat ternyata hanya lah beras peras dan tak jarang pula berbau apek. Itu pun terkadang pengalokasiannya tidak tepat sasaran. Tentu kejadian ini disebabkan adanya pihak-pihak tertentu yang telah memanipulasinya. Ini menandakan, dana yang kurang lebih Rp 25 Trilyun itu tidak sepenuhnya diterima oleh rakyat, melainkan tersendat di tangan para pelaksananya.
            Belum lagi program padat karya. Dalam pelaksanaannya, program ini sangat rawan akan manipulasi administratif. Apalagi jika program ini diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah setempat, semakin akan menyulitkan proses pengkontrolan.
Memang belum terbukti adanya kasus korupsi dari program ini, namun siapa yang berani menjamin bahwa program padat karya terbebas dari praktik korupsi?
Prakmatisme Partai
            Terlebih sekarang, partai-partai politik sedang menempatkan dirinya dalam wilayah prakmatisme. Masalah pemilu misalnya, rasanya publik telah mengetahui adanya fenomena “kutu loncat” dan “pecah kongsi” pada Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta.
            Pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto, yang memenangi Pilkada 2007, pecah menjelang pemilihan kembali. Begitu pun dengan beberapa kandidat lainnya, salah satunya Dede Yusuf yang berpindah dari Fraksi PAN ke Partai Demokrat.
            Di sisi lain, saat ini berbagai partai juga sedang disibukkan dengan penggalangan dana pemilu. Maka jika menitikberatkan sumber dana partai kepada penjelasan Cornelis Lay (1994) atau pun studi Dodi Ambardi (2009), kita patut khawatir akan terjadinya manipulasi dana kompensasi. Apalagi jarak waktu pelaksanaannya yang terlihat bersamaan, ditambah para pelaksananya yang didominasi oleh kader-kader partai.
            Sumber dana partai yang dimaksud itu terbagi menjadi dua. Pertama, dana nonbudgeter, yang digalang kader-kader partai di eksekutif, legislatif, maupun BUMN. Kedua, dana yang berasal dari sumbangan para pemilih modal besar.
            Dari kedua sumber dana tersebut, cara pertama lah yang sekarang banyak diwaspadai banyak pihak. Bagaimana tidak, belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, dana kompensasi sering kali menjadi lahan basah praktik korupsi, walau pun tidak terhendus media.
Namun, kini masyarakat telah bersifat partisipatif dalam menghadapi gejolak perpolitikan di negeri ini. Meminjam istilah Cak Nun, “kepercayaan rakyat sudah sangat minim terhadap partai, maka jangan lah memperparah keadaan dengan penggalangan dana yang bathil.
            Inilah akar masalah yang patut mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pihak. Hal ini penting, sebab dana kompensasi merupakan hak penuh rakyat. Jika dana itu juga ikut dimanipulasi, jangan heran jika rakyat akan bertindak lebih sparadis dan bahkan anarkis. Jangan sampai isu penggulingan SBY itu benar terjadi, layaknya tragedi 1998, jika masih bisa dicarikan solusi yang lebih familiar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar