Senin, 19 Maret 2012

Melacak Akar Radikalisme Ormas Islam di Indonesia


Oleh: Ali Topan DS (Ketua Umum HMI KOMFUF 2011-2012)

Saat ini orang sangat mudah memberi label orang lain atau bahkan kelompok lain “tersesat” baik secara toelogis maupun praktis. Terlebih apabila stereotip didasarkan karena perbedaan penafsiran teks-teks keagamaan dan “theological believe”. Barangkali masih teringat dibenak kita beberapa tindak kekerasan terhadap Jamaat Gereja Yasmin, menyerbuan Ma’had Syi’ah di Madura dan akhir-akhir ini rusuh ormas Islam. Kejadian ini sarat dengan motif-motif agama dan kekuasaan.
Pasca dibukanya “kran” demokrasi dengan diawali gerakan reformasi besar-besaran tahun 1998, orang semakin mudah berekspresi. Atas nama kebebasan yang dijamin oleh demokrasi dan HAM, mereka rela melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang atau kelompok lainnya. Kemudian muncul istilah “demokrasi kekecawaan”. Jika pada era presiden Suharto –yang dikatakan sebagai rezim otoriter- orang sangat dibatasi ruang geraknya, maka setelah runtuhnya rezim tersebut hal ini berubah, berbalik keadaan. Muncul ormas-ormas yang sebelumnya tidur atau “dipenjarakan” oleh orde lama.
Munculnya ormas Islam di Indonesia bukan hal baru. Mereka ada sejak masa orde lama dan baru atau jauh sebelumnya. Sebut saja Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1920), Persis (1926), Persatuan Ulama Indonesia (1917) dan Nahdhatul Ulama (1926), mereka lahir sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dan namanya tidak asing ditelinga kita. Namun sekarang kita mengenal nama-nama lainnya yang tak kalah asing, seperti FPI, MMI, HTI dan lain-lain. Keberadaan mereka juga telah lama, hanya mungkin tidak banyak dikenal orang karena terbatas pada beberapa daerah tertentu.
Kini, beberapa ormas terakhir tersebut kerap mewarnai media pemberitaan. FPI yang kerap melakukan tindak sweeping atas nama amar’ ma’ruf nahi munkar; MMI yang sering dikaitkan dengan terror bom atas seruan jihad; dan HTI yang menolak demokrasi karena al-Qur’an hanya menyeru syura serta gencar menyuarakan “Demokrasi sistem kafir”. Tampak sekali bahwa apa yang menjadi action mereka didasarkan atas teks-teks keagamaan. Sehingga orang atau kelompok yang berseberangan paham dengan mereka menjadi “musuh”. Kemudian muncul spekulasi-spekulasi atas perlakuan dan tindak mereka. Bahwa mereka mendapat suntikan dana asing; mereka merupakan antek-antek jaringan radikal asing. Benarkah hal ini?. Mereka yang tertuduh lantas melakukan preventive.
Jika dikaji lebih dalam, tindak-tindakan mereka tidak terbatas pada persoalan politik, kekuasaan dan ekonomi. Lebih dari itu, dalam benak mereka –ormas radikal- muncul kultur ketakutan, direndahkan dan harapan. Kultur ketakutan lahir ketika Islam dalam ancaman dan bahaya lawan; kultur direndahkan lahir tatkala Islam sebagai agama direndahkan, serta kultur harapan lahir dari ide Islam adalah solusi, sehingga segala cita-cita mereka dasarkan pada sendi-sendi Islam. Kemudian dengan mencoba menghidupkan nuansa keIslaman yang didasarkan pada al-Qur’an, mereka tentang keadilan Islam dan kedaulatan.
Cara-cara yang ditempuh dalam menyebaran fahamnya pun bisa dibilang cukup bervariasi. Dakwah melalui halaqah-halaqah terkadang mereka galakkan dengan menyusup keberbagai perguruan tinggi. Namun tidak jarang mereka muncul sebagai “momok” dengan gerakan anarkis.
Dalam posisi yang demikian, Negara mestinya memberi perhatian atas kasus tersebut. Pasalnya bukan tidak mungkin, ini menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI kita. Melalui Kementerian dalam negeri, pemerintah telah mengatur UU ormas. Dalam Pasal 1 UU No 8/1985 tentang Ormas disebutkan, Ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan; dalam rangka mencapai tujuan nasional; dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pada pasal 50 dijelaskan bahwa ormas dilarang melakukan kekerasan dan menggangu ketertipan bersama. Dan bagi ormas yang melakukan pemerintah dapat menindak.
Jika mengacu pada UU tersebut, seharusnya ormas-ormas mengedepankan sifat dan sikap persaudaran dan saling membantu demi cita-cita bangsa, Bukan saling mengintimidasi kelompok lain. Karena hal itu dapat merusak semangat kebhinekaan Negara RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar