Oleh:
Ali Topan DS (Ketua Umum HMI KOMFUF 2011-2012)
Saat
ini orang sangat mudah memberi label orang lain atau bahkan kelompok lain
“tersesat” baik secara toelogis maupun praktis. Terlebih apabila stereotip
didasarkan karena perbedaan penafsiran teks-teks keagamaan dan “theological
believe”. Barangkali masih teringat dibenak kita beberapa tindak kekerasan
terhadap Jamaat Gereja Yasmin, menyerbuan Ma’had Syi’ah di Madura dan
akhir-akhir ini rusuh ormas Islam. Kejadian ini sarat dengan motif-motif agama
dan kekuasaan.
Pasca
dibukanya “kran” demokrasi dengan diawali gerakan reformasi besar-besaran tahun
1998, orang semakin mudah berekspresi. Atas nama kebebasan yang dijamin oleh
demokrasi dan HAM, mereka rela melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang
atau kelompok lainnya. Kemudian muncul istilah “demokrasi kekecawaan”. Jika
pada era presiden Suharto –yang dikatakan sebagai rezim otoriter- orang sangat
dibatasi ruang geraknya, maka setelah runtuhnya rezim tersebut hal ini berubah,
berbalik keadaan. Muncul ormas-ormas yang sebelumnya tidur atau “dipenjarakan” oleh
orde lama.
Munculnya
ormas Islam di Indonesia bukan hal baru. Mereka ada sejak masa orde lama dan
baru atau jauh sebelumnya. Sebut saja Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1920),
Persis (1926), Persatuan Ulama Indonesia (1917) dan Nahdhatul Ulama (1926), mereka
lahir sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dan namanya tidak asing
ditelinga kita. Namun sekarang kita mengenal nama-nama lainnya yang tak kalah
asing, seperti FPI, MMI, HTI dan lain-lain. Keberadaan mereka juga telah lama,
hanya mungkin tidak banyak dikenal orang karena terbatas pada beberapa daerah
tertentu.
Kini,
beberapa ormas terakhir tersebut kerap mewarnai media pemberitaan. FPI yang
kerap melakukan tindak sweeping atas nama amar’ ma’ruf nahi munkar;
MMI yang sering dikaitkan dengan terror bom atas seruan jihad; dan HTI yang menolak
demokrasi karena al-Qur’an hanya menyeru syura serta gencar menyuarakan “Demokrasi
sistem kafir”. Tampak sekali bahwa apa yang menjadi action mereka
didasarkan atas teks-teks keagamaan. Sehingga orang atau kelompok yang
berseberangan paham dengan mereka menjadi “musuh”. Kemudian muncul
spekulasi-spekulasi atas perlakuan dan tindak mereka. Bahwa mereka mendapat
suntikan dana asing; mereka merupakan antek-antek jaringan radikal asing.
Benarkah hal ini?. Mereka yang tertuduh lantas melakukan preventive.
Jika
dikaji lebih dalam, tindak-tindakan mereka tidak terbatas pada persoalan
politik, kekuasaan dan ekonomi. Lebih dari itu, dalam benak mereka –ormas
radikal- muncul kultur ketakutan, direndahkan dan harapan. Kultur ketakutan
lahir ketika Islam dalam ancaman dan bahaya lawan; kultur direndahkan lahir
tatkala Islam sebagai agama direndahkan, serta kultur harapan lahir dari ide
Islam adalah solusi, sehingga segala cita-cita mereka dasarkan pada sendi-sendi
Islam. Kemudian dengan mencoba menghidupkan nuansa keIslaman yang didasarkan
pada al-Qur’an, mereka tentang keadilan Islam dan kedaulatan.
Cara-cara
yang ditempuh dalam menyebaran fahamnya pun bisa dibilang cukup bervariasi.
Dakwah melalui halaqah-halaqah terkadang mereka galakkan dengan menyusup
keberbagai perguruan tinggi. Namun tidak jarang mereka muncul sebagai “momok”
dengan gerakan anarkis.
Dalam
posisi yang demikian, Negara mestinya memberi perhatian atas kasus tersebut. Pasalnya
bukan tidak mungkin, ini menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI kita. Melalui
Kementerian dalam negeri, pemerintah telah mengatur UU ormas. Dalam Pasal 1 UU
No 8/1985 tentang Ormas disebutkan, Ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh
anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan; dalam rangka mencapai tujuan
nasional; dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila. Pada pasal 50 dijelaskan bahwa ormas dilarang melakukan kekerasan
dan menggangu ketertipan bersama. Dan bagi ormas yang melakukan pemerintah
dapat menindak.
Jika mengacu pada UU tersebut, seharusnya
ormas-ormas mengedepankan sifat dan sikap persaudaran dan saling membantu demi
cita-cita bangsa, Bukan saling mengintimidasi kelompok lain. Karena hal itu
dapat merusak semangat kebhinekaan Negara RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar