Kamis, 08 Maret 2012

Potret Kumuhnya Hukum Kita


Oleh. Shodiq Adi Winarko
            Sungguh menyakitkan tentunya bagi mereka para miskin yang terseret ke ranah hukum orang-orang elite. Hukum yang kerap kali mengindahkan asupan uang dari para elite, namun menciderai golongan papa yang haus akan keadilan. Rasanya sangat sulit bagi rakyat untuk juga membeli hukum tanpa nominal uang yang berlimpah. Sebaliknya, begitu mudahnya mereka para elite yang terbebas dari jeratan hukum, karena kelihaian lidah dan banyaknya uang.
            Padahal, meminjam pernyataan Alan Dershowitz, seorang pengacara pidana dan ahli hukum di Amerika Serikat. “Semestinya, hukum itu tidak bisa dibeli dan dipolitisasi.” Namun justru sebaliknya. Lihat saja, kasus lama di negeri ini terkait nama Gayus HP Tambunan. Dengan statusnya menjadi tahanan, namun dengan leluasanya ia dapat meninggalkan Rutan Brimob sebanyak 68 kali. Bukan saja untuk pulang ke rumah menemui keluarganya, melainkan untuk menonton tenis di Bali atau bahkan pergi ke Macau dan Kuala Lumpur. Tentu memerlukan banyak pihak untuk melancarkan aksi Gayus tadi. Karena rasanya tidak mungkin Gayus dapat pergi ke Bali atau ke luar negeri tanpa dilindungi payung kekuasaan.
            Lain lagi dengan kasus Angelina Sondakh. Segenap masyarakat Indonesia tentu sudah mengetahui statusnya sebagai tersangka dalam kasus wisma Atlet. Namun hingga detik ini, Angie masih bisa hidup bebas menghirup udara segar, tanpa ada jeratan hukum untuk memenjarakannya di sel. Tentu fenomena ini membuat masyarakat bertanya-tanya, mengapa keadilan justru selalu memihak kepada para elite?
            Atau memang hukum di negeri ini mengikuti deretan argumentasi Andre Comte-Sponville? Dimana ia menganggap hukum adalah keadilan yang dilegalkan, artinya disahkan, oleh institusi politik yang berwenang untuk melakukan itu. Sepintas memang benar, tapi jika ditilik lebih dalam lagi, ternyata Sponville hanya menekankan kepada sisi institusi, terlebih dalam hal keadilan. Sehingga, ia mengabaikan sisi moral dan etis yang terkandung dalam sebuah keadilan.
            Mengapa kita harus menggaris bawahi keadilan? Sebab, walau banyak kalangan menyandingkan hukum dan keadilan dalam satu atap, namun keduanya tidak selalu seiring berjalan. Sering kali hukum justru mencederai keadilan. Agaknya, hal ini jugalah yang melemahkan slogan “kebaikan akan selalu menang.” Seperti halnya pesan Nabi Khong Hu Chu yang diperankan dalam pertunjukan wayang potehi, di pelataran Kelenteng Tien Kok Sie Pasar Gede, Selasa (19/7).
            Seorang penegak hukum yang berniat baik membasmi korupsi, dapat dengan mudah berpaling arah karena permainan hukum. Hukum menjadikan upaya pemberantasan korupsi menjadi ilegal. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dicap sebagai perbuatan tercela dapat dibalikkan menjadi legal oleh hukum, semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu karena hukum dapat menjamin legalitas properti para elite. Pertanyaannya, jika hukum tidak dapat menjamin hak-hak minoritas dan memperjuangkan keadilan, lalu buat apa?
Hukum yang Berjarak
            Ini lah potret hukum kita. Hukum yang berjarak dengan keadilan sangat lah jelas terlihat. Padahal, semestinya hukum diberlakukan bukan hanya bersandar kepada kepastian hukum saja, akan tetapi juga rasa keadilan dan kemanfaatan. Meminjam perkataan Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Hukum tidak boleh berjarak dengan rasa keadilan. Penegakan hukum yang berjarak dengan rasa keadilan, menjadi batal demi hukum itu sendiri.”
            Menurut penulis pribadi, adanya jarak antara hukum dan keadilan di negeri ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, perbedaan persepsi. Secara persepsi, masyarakat berkaca kepada common sense untuk mengukur ada dan tidaknya keadilan. Maksudnya adalah sebuah persepi abstrak yang tumbuh berkembang dalam kehidupan mereka. Di lain pihak, para penegak hukum mendasarkan persepsi hukum dan keadilan kepada rumusan-rumusan legalistik yang terdapat dalam berbagai undang-undang.
Kedua, perbedaan posisi. Dalam hal ini kedua belah pihak menempati posisi yang sangat berlawanan. Entah mengapa masyarakat selalu memposisikan diri mereka sendiri sebagai pihak yang menjadi sasaran penegak hukum, terlebih saat terjadinya sebuah konflik dengan aparat keamanan. Sedangkan para penegak hukum merasa dirinya menjadi pihak pelaksana hukum.
Tak ayal jika dalam kenyataannya, berbagai konflik besar sering terjadi antara pihak yang merasa penegak hukum dan masyarakat. Seperti halnya di Bima, Temanggung dengan aksi pelecehan agamanya, demo buruh, dan lain sebagainya. Belum lagi aksi-aksi pembongkaran paksa rumah-rumah warga oleh pihak keamanan. Dengan seketika masyarakat justru menempatkan diri mereka sebagai sasaran tembak. Sedangkan para pemakai seragam keamanan menjadi eksekutor, mewakili pemegang mandat.
Penulis mengibaratkan hukum kita seperti sarang laba-laba. Sebesar apa pun jaring itu dibuat, hanya nyamuk-nyamuk kecil lah yang akan terperangkap di sana. Sedangkan seekor cicak yang besar tidak akan ampuh dengan perangkat lunak seperti itu. Bahkan dengan sengaja cicak berani menjatuhkan diri di atas sarang laba-laba, sebab ia tahu jaring itu tidak akan kuat menahan besar badannya.
Atau juga hukum kita seperti halnya pedang yang sisi tajamnya hanya bisa mengenai rakyat jelata. Namun, saat diayunkan ke arah elite, justru sisi tumpulnya lah yang dikenakan. Andai saja pedang keadilan di negeri ini seperti halnya pedang Damocles. Pedang yang pernah diletakkan di atas takhta Raja Dionysius di Syracuse Sisilia (406-307 SM). Pedang itu lah yang menyadarkan Damocles akan bahaya kekuasaan, terlebih jika keadilan yang dipegangnya dipenuhi nuansa politik.
Agaknya semua ini menjadi refleksi penegakan hukum di Indonesia. Jangan lagi hukum hanya dijadikan mainan elite politik, sehingga menimbulkan jarak yang terlalu jauh dengan rakyat jelata. Jika terus demikian, jangan salahkan dengan banyaknya aksi main hakim sendiri. Yang demikian itu berawal dari ketidakpercayaan rakyat terhadap penegak hukum kita. Sehingga mereka lebih memilih main hakim sendiri dibandingkan mengadukannya kepada pihak keamanan, toh sanksinya tidak akan membuat jera pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Maka, hanya dengan perbaikan moral para penegak hukum, kiranya hukum dan keadilan dapat disandingkan. Hukum yang dipolitisasi hanya akan melahirkan konflik berkepanjangan. Ingat pemikiran para filsuf moral seperti Eric Weil, Vittirio Hoesle, atau Hannah Arendt yang menekankan bahwa antara penegakan hukum dan moral itu, bukan saja tidak dapat dipisahkan, tetapi juga tidak boleh dipertentangkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar