Oleh. Shodiq
Adi Winarko
Sungguh menyakitkan
tentunya bagi mereka para miskin yang terseret ke ranah hukum orang-orang
elite. Hukum yang kerap kali mengindahkan asupan uang dari para elite, namun
menciderai golongan papa yang haus akan keadilan. Rasanya sangat sulit bagi rakyat
untuk juga membeli hukum tanpa nominal uang yang berlimpah. Sebaliknya, begitu
mudahnya mereka para elite yang terbebas dari jeratan hukum, karena kelihaian
lidah dan banyaknya uang.
Padahal, meminjam pernyataan Alan Dershowitz, seorang
pengacara pidana dan ahli hukum di Amerika Serikat. “Semestinya, hukum itu
tidak bisa dibeli dan dipolitisasi.” Namun justru sebaliknya. Lihat saja, kasus
lama di negeri ini terkait nama Gayus HP Tambunan. Dengan statusnya menjadi
tahanan, namun dengan leluasanya ia dapat meninggalkan Rutan Brimob sebanyak 68
kali. Bukan saja untuk pulang ke rumah menemui keluarganya, melainkan untuk
menonton tenis di Bali atau bahkan pergi ke Macau dan Kuala Lumpur. Tentu
memerlukan banyak pihak untuk melancarkan aksi Gayus tadi. Karena rasanya tidak
mungkin Gayus dapat pergi ke Bali atau ke luar negeri tanpa dilindungi payung
kekuasaan.
Lain lagi dengan kasus Angelina Sondakh. Segenap
masyarakat Indonesia tentu sudah mengetahui statusnya sebagai tersangka dalam
kasus wisma Atlet. Namun hingga detik ini, Angie masih bisa hidup bebas
menghirup udara segar, tanpa ada jeratan hukum untuk memenjarakannya di sel.
Tentu fenomena ini membuat masyarakat bertanya-tanya, mengapa keadilan justru
selalu memihak kepada para elite?
Atau memang hukum di negeri ini mengikuti deretan
argumentasi Andre Comte-Sponville? Dimana ia menganggap hukum adalah keadilan
yang dilegalkan, artinya disahkan, oleh institusi politik yang berwenang untuk
melakukan itu. Sepintas memang benar, tapi jika ditilik lebih dalam lagi,
ternyata Sponville hanya menekankan kepada sisi institusi, terlebih dalam hal
keadilan. Sehingga, ia mengabaikan sisi moral dan etis yang terkandung dalam
sebuah keadilan.
Mengapa kita harus menggaris bawahi keadilan? Sebab,
walau banyak kalangan menyandingkan hukum dan keadilan dalam satu atap, namun
keduanya tidak selalu seiring berjalan. Sering kali hukum justru mencederai
keadilan. Agaknya, hal ini jugalah yang melemahkan slogan “kebaikan akan selalu
menang.” Seperti halnya pesan Nabi Khong Hu Chu yang diperankan dalam
pertunjukan wayang potehi, di pelataran Kelenteng Tien Kok Sie Pasar Gede,
Selasa (19/7).
Seorang penegak hukum yang berniat baik membasmi korupsi,
dapat dengan mudah berpaling arah karena permainan hukum. Hukum menjadikan
upaya pemberantasan korupsi menjadi ilegal. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
yang dicap sebagai perbuatan tercela dapat dibalikkan menjadi legal oleh hukum,
semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu karena hukum dapat menjamin
legalitas properti para elite. Pertanyaannya, jika hukum tidak dapat menjamin
hak-hak minoritas dan memperjuangkan keadilan, lalu buat apa?
Hukum
yang Berjarak
Ini lah potret
hukum kita. Hukum yang berjarak dengan keadilan sangat lah jelas terlihat.
Padahal, semestinya hukum diberlakukan bukan hanya bersandar kepada kepastian
hukum saja, akan tetapi juga rasa keadilan dan kemanfaatan. Meminjam perkataan
Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Hukum tidak boleh
berjarak dengan rasa keadilan. Penegakan hukum yang berjarak dengan rasa
keadilan, menjadi batal demi hukum itu sendiri.”
Menurut penulis pribadi, adanya jarak antara hukum dan
keadilan di negeri ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, perbedaan persepsi.
Secara persepsi, masyarakat berkaca kepada common
sense untuk mengukur ada dan tidaknya keadilan. Maksudnya adalah sebuah
persepi abstrak yang tumbuh berkembang dalam kehidupan mereka. Di lain pihak,
para penegak hukum mendasarkan persepsi hukum dan keadilan kepada rumusan-rumusan
legalistik yang terdapat dalam berbagai undang-undang.
Kedua,
perbedaan posisi. Dalam hal ini kedua belah pihak menempati posisi yang sangat
berlawanan. Entah mengapa masyarakat selalu memposisikan diri mereka sendiri
sebagai pihak yang menjadi sasaran penegak hukum, terlebih saat terjadinya
sebuah konflik dengan aparat keamanan. Sedangkan para penegak hukum merasa
dirinya menjadi pihak pelaksana hukum.
Tak
ayal jika dalam kenyataannya, berbagai konflik besar sering terjadi antara
pihak yang merasa penegak hukum dan masyarakat. Seperti halnya di Bima,
Temanggung dengan aksi pelecehan agamanya, demo buruh, dan lain sebagainya.
Belum lagi aksi-aksi pembongkaran paksa rumah-rumah warga oleh pihak keamanan.
Dengan seketika masyarakat justru menempatkan diri mereka sebagai sasaran
tembak. Sedangkan para pemakai seragam keamanan menjadi eksekutor, mewakili
pemegang mandat.
Penulis
mengibaratkan hukum kita seperti sarang laba-laba. Sebesar apa pun jaring itu
dibuat, hanya nyamuk-nyamuk kecil lah yang akan terperangkap di sana. Sedangkan
seekor cicak yang besar tidak akan ampuh
dengan perangkat lunak seperti itu. Bahkan dengan sengaja cicak berani
menjatuhkan diri di atas sarang laba-laba, sebab ia tahu jaring itu tidak akan
kuat menahan besar badannya.
Atau
juga hukum kita seperti halnya pedang yang sisi tajamnya hanya bisa mengenai
rakyat jelata. Namun, saat diayunkan ke arah elite, justru sisi tumpulnya lah
yang dikenakan. Andai saja pedang keadilan di negeri ini seperti halnya pedang
Damocles. Pedang yang pernah diletakkan di atas takhta Raja Dionysius di
Syracuse Sisilia (406-307 SM). Pedang itu lah yang menyadarkan Damocles akan
bahaya kekuasaan, terlebih jika keadilan yang dipegangnya dipenuhi nuansa
politik.
Agaknya
semua ini menjadi refleksi penegakan hukum di Indonesia. Jangan lagi hukum
hanya dijadikan mainan elite politik, sehingga menimbulkan jarak yang terlalu
jauh dengan rakyat jelata. Jika terus demikian, jangan salahkan dengan
banyaknya aksi main hakim sendiri. Yang demikian itu berawal dari
ketidakpercayaan rakyat terhadap penegak hukum kita. Sehingga mereka lebih
memilih main hakim sendiri dibandingkan mengadukannya kepada pihak keamanan,
toh sanksinya tidak akan membuat jera pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Maka, hanya dengan perbaikan moral para penegak
hukum, kiranya hukum dan keadilan dapat disandingkan. Hukum yang dipolitisasi
hanya akan melahirkan konflik berkepanjangan. Ingat pemikiran para filsuf moral
seperti Eric Weil, Vittirio Hoesle, atau Hannah Arendt yang menekankan bahwa
antara penegakan hukum dan moral itu, bukan saja tidak dapat dipisahkan, tetapi
juga tidak boleh dipertentangkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar