Senin, 28 Januari 2013

Pahlawan Sample

Pahlawan  Sample
@ikhsanyaqub


Masih tercium aromanya hari pahlawan nasional yang baru tanggal 10 november kemarin dirayakan berbagai  media, kampus, Partai Politik, dsb. Ada yang mengundang politikus, akademisi, tokoh ormas, ulama, bahkan artis untuk diminta pendapatnya seputar hari pahlawan ini. Ada semacam kuis-kuis, doorprize, dan sebagainya, semua untuk mempengaruhi masyarakat atas “kehendaknya untuk berkuasa”, kalau mengingat teorinya Nietzche, man to power.
Tapi justru dalam benak penulis terlintas, ngapain sih acara-acara seperti itu? Toh Orang-orang yang hadir pun penulis yakin kebanyakan bukan karena teringat jasa para pahlawan. Kok tidak ada spirit kebangsaan untuk menjadi bangsa yang besar menurut definisi Soekarno?
Jangankan hari pahlawan, 17 Agustus pun penulis yakin juga sama, Bahkan jangan-jangan penulis berpikir seperti ini pun karena ketidaksesuaian antara apa yang penulis “kehendaki untuk berkuasa”, dengan realitas Indonesia sekarang. Apakah yang dibilang pahlawan nasional itu adalah mereka yang sudah menemukan kesesuaian antara “kehendak mereka untuk berkuasa” dengan realitas Indonesia saat ini?
Sebab, kalau saja realitas indonesia saat ini adalah negara Islam, tentu saja pahlawan itu bukan orang-orang berpeci hitam, melainkan orang-orang yang memakai udeng-udeng di kepala itu.
Penulis jadi teringat awal mula semua kejadian yang membuat penulis galau ini, tepatnya tanggal 28 oktober 1928. Pada hari itu jong-jong dari seluruh nusantara berkumpul, menyatukan pikiran, sikap, dan tindakan mereka untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Pertemuan jong-jong inilah yang kemudian disimpulkan sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia. Karena definisi “bangsa” oleh para founding father adalah kehendak jiwa yang ingin bersatu dalam suatu teritorial tertentu. Lantas kemudian cita-cita mereka pun akhirnya kesampaian pada tanggal 17 agustus 1945, yang ditetapkan sebagai hari kemerdekaan bangsa ini. Maknanya adalah apa yang terjadi pada realitas Indonesia sekarang, itu karena perjuangan para pemuda yang berkumpul itu, yang kemudian mereka disebut “pahlawan”. Jadi kiranya dari sini, mulailah kita mengerti apa itu pahlawan.
Lantas yang membuat penulis bingung dari awalnya adalah, mengapa hanya dari sample-sample pemuda itu (yang sekarang kita sebut pahlawan), bisa disimpulkan sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia secara keseluruhan? Kok bisa? Apakah dahulu pernah ada semacam survei kepada seluruh pribumi Indonesia? Kalau memang ada, apakah seluruh pribumi Indonesia setuju dengan hasil musyawarah para pemuda itu, dengan segala ideologi-ideologi yang diusung? Jangan-jangan ada konspirasi busuk pada perkumpulan pemuda itu? Terlalu su’udzon memang.
            Tapi inilah mungkin sumber semua kekacauan ini saudara! Semua realitas yang terjadi hari ini, baik perpecahan, separatisme, primordialisme, dsb, itu karena awalnya sudah salah. Penalaran secara induktif tentang kebangsaan, merupakan awal keretakkan bangsa itu sendiri. Ya iya lah, yang mengaku sebagai bangsa Indonesia dengan ideologi seperti sekarang, hanya segelintir pemuda-pemuda, yang mana ideologinya juga sama.
Lalu kemana selebihnya pemuda-pemuda yang lain? Apakah ideologi mereka juga sama? Apakah mereka setuju atas prakarsa sumpah pemuda? Lantas kalau memang begitu, bagaimana persatuan dapat diwujudkan? Lalu kalau dibawa pada konteks hari pahlawan, apakah memang seluruh bangsa ini harus menghargai jasa pahlawan? Sedangkan pahlawan-pahlawan itu hanyalah “sample-sample” dalam induksi kebangsaan? Kalau memang induksi ini dibenarkan, apakah jumlah “sample-sample/pahlawan-pahlawan” itu sepadan dengan jumlah keseluruhan bangsa ini? Sehingga walaupun induksi, probabilitasnya masih bisa diamini kebenarannya.
Kalau penulis berpikiran seperti ini, rasanya sah-sah saja jika ada kelompok yang ingin memisahkan diri dari negara ini. Sah-sah saja jika ada kelompok yang ingin mendirikan negara Islam, negara Komunis dan lain-lain, yang ber-ideologi berbeda, atau seperti gerakan primordialisme NAD di Aceh, OPM di Papua, RMS di Maluku, dsb. Mereka bukanlah pengkhianat bangsa Indonesia secara keseluruhan, melainkan hanya pengkhianat “sample-sample” itu tadi. Karena “sample-sample” ini lah yang “kehendak untuk berkuasa” nya menang sampai hari ini. Maka dari itu, pantas saja gerakan-gerakan pemberontak seperti itu diberantas oleh negara, untuk mengalahkan “kehendak untuk berkuasa” yang lain.  
     Terakhir, penulis mengajak pembaca selalu meragukan secara mendalam tentang sejarah yang telah terjadi. Karena, dari keraguanlah  budaya kritis dapat terwujud. Kalau kita sudah kritis, maka ada hasrat untuk mencari kesalahan-kesalahan para pendahulu kita, menemukan solusi. Lah kalau solusi sudah ketemu, cobalah untuk menjewantahkan solusi itu pada re alitas Indonesia sekarang ini. YAKUSA


*Penulis adalah kader HMI Kader HMI KOMFUF dan PenggiatBPIUS  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar