Pahlawan Sample
@ikhsanyaqub
Masih
tercium aromanya hari pahlawan nasional yang baru tanggal 10 november kemarin
dirayakan berbagai media, kampus, Partai Politik, dsb. Ada yang mengundang
politikus, akademisi, tokoh ormas, ulama, bahkan artis untuk diminta
pendapatnya seputar hari pahlawan ini. Ada semacam kuis-kuis, doorprize, dan sebagainya, semua untuk
mempengaruhi masyarakat atas “kehendaknya untuk berkuasa”, kalau mengingat
teorinya Nietzche, man to power.
Tapi
justru dalam benak penulis terlintas, ngapain
sih acara-acara seperti itu? Toh Orang-orang
yang hadir pun penulis yakin kebanyakan bukan karena teringat jasa para
pahlawan. Kok tidak ada spirit kebangsaan untuk menjadi bangsa yang besar
menurut definisi Soekarno?
Jangankan hari pahlawan, 17 Agustus pun penulis yakin
juga sama, Bahkan jangan-jangan penulis berpikir seperti ini pun karena
ketidaksesuaian antara apa yang penulis “kehendaki untuk berkuasa”, dengan
realitas Indonesia sekarang. Apakah
yang dibilang pahlawan nasional itu adalah mereka yang sudah menemukan
kesesuaian antara “kehendak mereka untuk berkuasa” dengan realitas Indonesia
saat ini?
Sebab,
kalau saja realitas indonesia saat ini adalah negara Islam, tentu saja pahlawan
itu bukan orang-orang berpeci hitam, melainkan orang-orang yang memakai udeng-udeng di kepala itu.
Penulis
jadi teringat awal mula semua kejadian yang membuat penulis galau ini, tepatnya
tanggal 28 oktober 1928. Pada hari itu jong-jong
dari seluruh nusantara berkumpul, menyatukan pikiran, sikap, dan tindakan
mereka untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Pertemuan jong-jong inilah yang kemudian disimpulkan sebagai hari lahirnya
bangsa Indonesia. Karena definisi “bangsa” oleh para founding father adalah kehendak jiwa yang ingin bersatu dalam suatu
teritorial tertentu. Lantas kemudian cita-cita mereka pun akhirnya kesampaian
pada tanggal 17 agustus 1945, yang ditetapkan sebagai hari kemerdekaan bangsa
ini. Maknanya adalah apa yang terjadi pada realitas Indonesia sekarang, itu
karena perjuangan para pemuda yang berkumpul itu, yang kemudian mereka disebut
“pahlawan”. Jadi kiranya dari sini, mulailah kita mengerti apa itu pahlawan.
Lantas
yang membuat penulis bingung dari awalnya adalah, mengapa hanya dari
sample-sample pemuda itu (yang sekarang kita sebut pahlawan), bisa disimpulkan
sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia secara keseluruhan? Kok bisa? Apakah dahulu pernah ada semacam survei kepada seluruh
pribumi Indonesia? Kalau memang ada, apakah seluruh pribumi Indonesia setuju
dengan hasil musyawarah para pemuda itu, dengan segala ideologi-ideologi yang
diusung? Jangan-jangan ada konspirasi busuk pada perkumpulan pemuda itu?
Terlalu su’udzon memang.
Tapi inilah mungkin sumber semua
kekacauan ini saudara! Semua realitas yang terjadi hari ini, baik perpecahan,
separatisme, primordialisme, dsb, itu karena awalnya sudah salah. Penalaran
secara induktif tentang kebangsaan, merupakan awal keretakkan bangsa itu
sendiri. Ya iya lah, yang mengaku sebagai bangsa Indonesia dengan ideologi
seperti sekarang, hanya segelintir pemuda-pemuda, yang mana ideologinya juga
sama.
Lalu
kemana selebihnya pemuda-pemuda yang lain? Apakah ideologi mereka juga sama?
Apakah mereka setuju atas prakarsa sumpah pemuda? Lantas kalau memang begitu,
bagaimana persatuan dapat diwujudkan? Lalu kalau dibawa pada konteks hari
pahlawan, apakah memang seluruh bangsa ini harus menghargai jasa pahlawan?
Sedangkan pahlawan-pahlawan itu hanyalah “sample-sample” dalam induksi
kebangsaan? Kalau memang induksi ini dibenarkan, apakah jumlah
“sample-sample/pahlawan-pahlawan” itu sepadan dengan jumlah keseluruhan bangsa
ini? Sehingga walaupun induksi, probabilitasnya masih bisa diamini
kebenarannya.
Kalau penulis
berpikiran seperti ini, rasanya sah-sah saja jika ada kelompok yang ingin
memisahkan diri dari negara ini. Sah-sah saja jika ada kelompok yang ingin
mendirikan negara Islam, negara Komunis dan lain-lain, yang ber-ideologi
berbeda, atau seperti gerakan primordialisme NAD di Aceh, OPM di Papua, RMS di
Maluku, dsb. Mereka bukanlah pengkhianat bangsa Indonesia secara keseluruhan,
melainkan hanya pengkhianat “sample-sample” itu tadi. Karena “sample-sample”
ini lah yang “kehendak untuk berkuasa” nya menang sampai hari ini. Maka dari
itu, pantas saja gerakan-gerakan pemberontak seperti itu diberantas oleh
negara, untuk mengalahkan “kehendak untuk berkuasa” yang lain.
Terakhir, penulis mengajak pembaca selalu meragukan
secara mendalam tentang sejarah
yang telah terjadi. Karena, dari keraguanlah budaya kritis dapat terwujud. Kalau kita sudah
kritis, maka ada hasrat untuk mencari kesalahan-kesalahan para pendahulu kita,
menemukan solusi. Lah kalau solusi
sudah ketemu, cobalah untuk menjewantahkan solusi itu pada re alitas Indonesia sekarang
ini. YAKUSA
*Penulis adalah kader HMI Kader
HMI KOMFUF dan PenggiatBPIUS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar