Maulana Ainul Asry (Ilmu Politik FISIP)
Mahasiswa kerapkali dikait-kaitkan
dengan aksi demonstrasi. Kaum ibu-ibu atau masyarakat awam begitu mendengar
kata berbunyi mahasiswa, langsung tersirat dalam benaknya pada aktivisme. Begitu
lah image kalangan awam terhadap nama misterius itu. Nama yang seakan
“menghantui” aparat hukum, sebab sering kali berbenturan di tengah jalan.
Dunia mahasiswa memang selalu
identik dan tak dapat dipisahkan dengan aktivitas demonstrasi. Sehingga kontradiktif
dengan sikap seharusnya, seperti berperilaku mulia, tidak suka chaos.
Tapi dengan dalih agent of change yang turut mengontrol jalannya roda
pemerintahan, semua perilaku senonoh itu boleh diberi “lampu hijau”.
Peran anak muda pada umumnya dan
mahasiswa pada khususnya tak dapat dipungkiri telah menorehkan tinta emas
hampir di setiap sejarah perubahan di Nusantara. Sebut saja dari peristiwa
Sumpah Pemuda (tolak ukur persatuan bangsa), peristiwa Rengasdengklok (berujung
pada proklamasi kemerdekaan), aksi di Lapangan Ikada, peristiwa Tiga Tuntutan
Rakyat (Tritura), Malapetaka 15 Januari (Malari), demonstrasi besar-besaran Mei
1998, hingga demonstrasi penurunan mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Semua
tragedi bersejarah itu tak kan terjadi tanpa andil pemuda atau si pemilik nama
misterius, mahasiswa.
Namun di balik semua torehan
prestasi mengkilap itu timbul sebuah pertanyaan ironi yang menyayat hati si
empunya gelar menyeramkan: mengapa segenap aksi mahasiswa di masa kini tak lagi
se-efektif demonstrasi pada masa terdahulu? Pertanyaan sederhana memang, tapi
itulah kenyataan yang terjadi. Empunya nama misterius seperti menelan pil pahit
kepedihan itu.
Berbagai gelombang yang menuntut
adanya perubahan selalu kandas di tengah jalan, atau gatot alias gagal total.
Yang berbekas hanyalah perubahan-perubahan yang dialami pemandangan sekitar
jalan raya atau rambu-rambu lalu lintas yang sedikit rusak. Aktivis-aktivis
mahasiswa seringkali keok menghadapi barisan rapi petugas keamanan, sehingga
target perubahan yang mereka tuju tak terpenuhi, sirna begitu saja. Usahanya
pun dikategorikan sia-sia.
Ambil contoh rencana aksi penurunan
Presiden SBY pada Oktober tahun lalu. Demonstrasi yang juga didalangi oleh
mantan aktivis HMI MPO, Egi Sudjana itu, awalnya begitu digembar-gemborkan
media. Mereka menyebut itu aksi nasional, dari Sabang sampai Merauke, Miangas
hingga Pulau Rote, bakalan “unjuk gigi” turun ke jalan. Namun alih-alih melihat
dampaknya sekarang, sehari setelah peristiwa dengan rencana besar itu terjadi,
bisa dilihat hasilnya: nihil sama sekali. Klaim aksi nasional pun terpatahkan
begitu saja. Aksi berbual besar ini hanya dominan terjadi di Pulau Jawa.
Pemilik nama misterius sekarang bagai sedang dilanda musibah kehilangan tajinya.
Salah satu dari sekian banyak
penyebab, aktivisme sekarang lebih berorientasi pada materi. Para demonstran seringkali
turun ke jalan karena imbalan atau iming-iming uang, sehingga menghilangkan
nilai ketulusan dalam berdemo. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak aksi
demonstrasi yang didanai oknum-oknum yang punya kepentingan (interest)
tertentu. Kalau sudah begini, apalah
daya empunya gelar misterius. Ia tak lagi sehebat dahulu, dan kenagan hanya
akan tinggal kenangan.
Acungan jempol mesti kita berikan
kepada oknum-oknum yang tergerak oleh ideologi mereka sendiri, namun jangan
biarkan kaki ini terangkat untuk sekedar memampangkannya dihadapan muka
pihak-pihak “bermata duitan”. Sebab itu jelas mencoreng gelar mereka sendiri
sebagai mahasiswa yang klaimnya adalah penyambung lidah rakyat. Tapi dengan
itu, jangan-jangan mereka malah bergelar pencabik lidah rakyat.
Pernah suatu kala penulis bertanya
langsung ke si pelaku aktivisme semu itu. Tanya penulis tentang hal ironis ini,
lalu dengan gaya usangnya itu ia menjawab, “Ya kita kalo ada yang ngasi
terima, kalo nggak ya nggak pa pa. Ato kalo mau tahu lebih
dalam, langsung ikut aja”, sambil menghasut.
Contoh terbaru yang lebih ironis,
mengenai pembangunan gedung DPR. Sampai sekarang hipotesa tulisan ini bisa bertahan di “tangga lagu teratas”. Tak
segelintir pun manusia-manusia yang mengaku aktivis itu menampakkann batang
hidungnya. Di kala rakyat menjerit kelaparan atau menahan rasa” nikmatnya” nasi
aking, pemilik nama misterius yang mengaku penyambung lidah rakyat tak
kunjung menyampaikan aspirasi kritisnya.
Jika
begini, maka cocoklah gelar terbaru untuk aktivis-aktivis semu di atas. Mari
kita rayakan bersama-sama aqiqah terhadap sebutan baru untuk mereka itu:
pencabik lidah rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar