Sabtu, 14 Januari 2012

Ironi Aktivisme Mahasiswa


Maulana Ainul Asry (Ilmu Politik FISIP)
            Mahasiswa kerapkali dikait-kaitkan dengan aksi demonstrasi. Kaum ibu-ibu atau masyarakat awam begitu mendengar kata berbunyi mahasiswa, langsung tersirat dalam benaknya pada aktivisme. Begitu lah image kalangan awam terhadap nama misterius itu. Nama yang seakan “menghantui” aparat hukum, sebab sering kali berbenturan di tengah jalan.
            Dunia mahasiswa memang selalu identik dan tak dapat dipisahkan dengan aktivitas demonstrasi. Sehingga kontradiktif dengan sikap seharusnya, seperti berperilaku mulia, tidak suka chaos. Tapi dengan dalih agent of change yang turut mengontrol jalannya roda pemerintahan, semua perilaku senonoh itu boleh diberi “lampu hijau”.
            Peran anak muda pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya tak dapat dipungkiri telah menorehkan tinta emas hampir di setiap sejarah perubahan di Nusantara. Sebut saja dari peristiwa Sumpah Pemuda (tolak ukur persatuan bangsa), peristiwa Rengasdengklok (berujung pada proklamasi kemerdekaan), aksi di Lapangan Ikada, peristiwa Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), Malapetaka 15 Januari (Malari), demonstrasi besar-besaran Mei 1998, hingga demonstrasi penurunan mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Semua tragedi bersejarah itu tak kan terjadi tanpa andil pemuda atau si pemilik nama misterius, mahasiswa.
            Namun di balik semua torehan prestasi mengkilap itu timbul sebuah pertanyaan ironi yang menyayat hati si empunya gelar menyeramkan: mengapa segenap aksi mahasiswa di masa kini tak lagi se-efektif demonstrasi pada masa terdahulu? Pertanyaan sederhana memang, tapi itulah kenyataan yang terjadi. Empunya nama misterius seperti menelan pil pahit kepedihan itu.
            Berbagai gelombang yang menuntut adanya perubahan selalu kandas di tengah jalan, atau gatot alias gagal total. Yang berbekas hanyalah perubahan-perubahan yang dialami pemandangan sekitar jalan raya atau rambu-rambu lalu lintas yang sedikit rusak. Aktivis-aktivis mahasiswa seringkali keok menghadapi barisan rapi petugas keamanan, sehingga target perubahan yang mereka tuju tak terpenuhi, sirna begitu saja. Usahanya pun dikategorikan sia-sia.
            Ambil contoh rencana aksi penurunan Presiden SBY pada Oktober tahun lalu. Demonstrasi yang juga didalangi oleh mantan aktivis HMI MPO, Egi Sudjana itu, awalnya begitu digembar-gemborkan media. Mereka menyebut itu aksi nasional, dari Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Pulau Rote, bakalan “unjuk gigi” turun ke jalan. Namun alih-alih melihat dampaknya sekarang, sehari setelah peristiwa dengan rencana besar itu terjadi, bisa dilihat hasilnya: nihil sama sekali. Klaim aksi nasional pun terpatahkan begitu saja. Aksi berbual besar ini hanya dominan terjadi di Pulau Jawa. Pemilik nama misterius sekarang bagai sedang dilanda musibah kehilangan tajinya.
            Salah satu dari sekian banyak penyebab, aktivisme sekarang lebih berorientasi pada materi. Para demonstran seringkali turun ke jalan karena imbalan atau iming-iming uang, sehingga menghilangkan nilai ketulusan dalam berdemo. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak aksi demonstrasi yang didanai oknum-oknum yang punya kepentingan (interest) tertentu. Kalau  sudah begini, apalah daya empunya gelar misterius. Ia tak lagi sehebat dahulu, dan kenagan hanya akan tinggal kenangan.
            Acungan jempol mesti kita berikan kepada oknum-oknum yang tergerak oleh ideologi mereka sendiri, namun jangan biarkan kaki ini terangkat untuk sekedar memampangkannya dihadapan muka pihak-pihak “bermata duitan”. Sebab itu jelas mencoreng gelar mereka sendiri sebagai mahasiswa yang klaimnya adalah penyambung lidah rakyat. Tapi dengan itu, jangan-jangan mereka malah bergelar pencabik lidah rakyat.
            Pernah suatu kala penulis bertanya langsung ke si pelaku aktivisme semu itu. Tanya penulis tentang hal ironis ini, lalu dengan gaya usangnya itu ia menjawab, “Ya kita kalo ada yang ngasi terima, kalo nggak ya nggak pa pa. Ato kalo mau tahu lebih dalam, langsung ikut aja”, sambil menghasut.
            Contoh terbaru yang lebih ironis, mengenai pembangunan gedung DPR. Sampai sekarang hipotesa tulisan ini bisa  bertahan di “tangga lagu teratas”. Tak segelintir pun manusia-manusia yang mengaku aktivis itu menampakkann batang hidungnya. Di kala rakyat menjerit kelaparan atau menahan rasa” nikmatnya” nasi aking, pemilik nama misterius yang mengaku penyambung lidah rakyat tak kunjung menyampaikan aspirasi kritisnya.
            Jika begini, maka cocoklah gelar terbaru untuk aktivis-aktivis semu di atas. Mari kita rayakan bersama-sama aqiqah terhadap sebutan baru untuk mereka itu: pencabik lidah rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar