Oleh Ali Topan DS (Ketua Umum HMI KOMFUF 2011-2012)
Gerakan reformasi pada 1998 memang telah berhasil menumbangkan
rezim “otoriter” era Presiden Suharto. Kejumudan telah berakhir dengan adanya
sistem baru republic ini. Rakyat Indonesia memasuki babak baru pemerintahan
dengan sistem demokrasi. Sistem yang konon paling baik jika diterapkan di Indonesia.
Masyarakat pun berharap banyak atas keadilan dan kesejahteraan dari sistem
pemerintahan baru, demokrasi. Jargon “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”
selalu diumbar bagi mereka yang berhasil menorehkan tinta demokrasi.
Jika
kita perhatikan, prinsip demokrasi antaranya adalah berpihak pada kedaulatan
rakyat; pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; kekuasaan mayoritas;
hak-hak minoritas;
jaminan
hak asasi manusia; pemilihan yang bebas dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang
wajar; pembatasan pemerintah secara konstitusional;
pluralisme
sosial, ekonomi,
dan politik;
nilai-nilai toleransi,
pragmatisme,
kerja sama, dan mufakat.
Hal ini tentu sangat diharapkan masyarakat Indonesia yang baragam dan multicultural.
Namun, apakah mimpi meraih keadilan sosial dan
kesejahteraan rakyat telah benar terwujud?, jawabnya tidak. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi rakyat (warga negara) sebagai ciri dari pemerintahan demokratis juga
tidak terlihat di Negara ini. Banyaknya tidak kekerasan menunjukkan ciri di
atas telah diabaikan pemerintah. Angka kemiskinan gagal ditekan pemerintah;
banyak pengemis dijalan dan mereka pasti warga Indonesia. Lantas dimana
perlindungan pemerintah terhadap warganya?.
Ciri
lain dari pemerintah yang demokratis adalah adanya pers (media massa) yang
bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan
pemerintah. Sudah adakah pers yang demikian?, jawabnya tidak. Kebebasan pers yang
tertera di UU Pers tahun 1999 telah nyata menodai demokrasi itu sendiri. Pers semakin
“bebas semaunya” ketika memberitakan sebuah kasus. Bahkan dalam beberapa contoh
kasus, pers tidak layak dikonsumsi karena pers telah dikoptasi kepentingan elit
pemerintah.
Pemilihan
umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat juga
menjadi ciri dari pemerintahan yang demokratis. Pertanyaannya adalah, apakah
wakil kita yang duduk di lembaga perwakilan rakyat sudah pro terhadap “wong
cilik” rakyat miskin Indonesia? jawabnya adalah “pertanyaan besar”. Alih-alih
mengenyangkan perut rakyat, mereka tampaknya lebih disibukkan dengan urusan
mengenyangkan perut partai dan keluarga dekat. Sibuk dengan menganggarkan kursi
ruang rapat, toilet dan tampat parkir mereka di senayan.
Menjunjung
tinggi perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan) yang juga menjadi ciri pemerintahan
demokrasi juga hal yang utopis dan merupakan omong kosong. Contoh kasus seperti
penusukan pendeta di Bekasi; pembakaran pondok pesantren di Madura, beberapa
kasus tawuran di Jakarta serta pengrusakan kantor kementerian oleh ormas
setidaknya menuntut mata kita untuk “melek”, melihat noda-noda bandel
pada sistem pemerintahan ini.
Betapa banyak tindakan-tindakan di luar moral
yang kita temukan pada Indonesia ini. Lantas apa yang diinginkan para
pengerak/motor reformasi 1998 lalu?. Apakah hal di atas ini yang menjadi cita-cita
reformasi?, jawabnya tentu tidak. Inilah yang kemudian mendorong beberapa
rakyat untuk kembali pada eranya Presiden Suharto. Semoga Tuhan membuka mata
hati seluruh elemen masyarakat bangsa ini, untuk mewujudkan cita-cita reformasi
yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar