Sabtu, 21 Januari 2012

Saya Menyesali Reformasi 1998


Oleh Ali Topan DS (Ketua Umum HMI KOMFUF 2011-2012)

Gerakan reformasi pada 1998 memang telah berhasil menumbangkan rezim “otoriter” era Presiden Suharto. Kejumudan telah berakhir dengan adanya sistem baru republic ini. Rakyat Indonesia memasuki babak baru pemerintahan dengan sistem demokrasi. Sistem yang konon paling baik jika diterapkan di Indonesia. Masyarakat pun berharap banyak atas keadilan dan kesejahteraan dari sistem pemerintahan baru, demokrasi. Jargon “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” selalu diumbar bagi mereka yang berhasil menorehkan tinta demokrasi.
Jika kita perhatikan, prinsip demokrasi antaranya adalah berpihak pada kedaulatan rakyat; pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; kekuasaan mayoritas; hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia; pemilihan yang bebas dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar; pembatasan pemerintah secara konstitusional; pluralisme sosial, ekonomi, dan politik; nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat. Hal ini tentu sangat diharapkan masyarakat Indonesia yang baragam dan multicultural.
Namun, apakah mimpi meraih keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat telah benar terwujud?, jawabnya tidak. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara) sebagai ciri dari pemerintahan demokratis juga tidak terlihat di Negara ini. Banyaknya tidak kekerasan menunjukkan ciri di atas telah diabaikan pemerintah. Angka kemiskinan gagal ditekan pemerintah; banyak pengemis dijalan dan mereka pasti warga Indonesia. Lantas dimana perlindungan pemerintah terhadap warganya?.
Ciri lain dari pemerintah yang demokratis adalah adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah. Sudah adakah pers yang demikian?, jawabnya tidak. Kebebasan pers yang tertera di UU Pers tahun 1999 telah nyata menodai demokrasi itu sendiri. Pers semakin “bebas semaunya” ketika memberitakan sebuah kasus. Bahkan dalam beberapa contoh kasus, pers tidak layak dikonsumsi karena pers telah dikoptasi kepentingan elit pemerintah.
Pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat juga menjadi ciri dari pemerintahan yang demokratis. Pertanyaannya adalah, apakah wakil kita yang duduk di lembaga perwakilan rakyat sudah pro terhadap “wong cilik” rakyat miskin Indonesia? jawabnya adalah “pertanyaan besar”. Alih-alih mengenyangkan perut rakyat, mereka tampaknya lebih disibukkan dengan urusan mengenyangkan perut partai dan keluarga dekat. Sibuk dengan menganggarkan kursi ruang rapat, toilet dan tampat parkir mereka di senayan.
Menjunjung tinggi perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan) yang juga menjadi ciri pemerintahan demokrasi juga hal yang utopis dan merupakan omong kosong. Contoh kasus seperti penusukan pendeta di Bekasi; pembakaran pondok pesantren di Madura, beberapa kasus tawuran di Jakarta serta pengrusakan kantor kementerian oleh ormas setidaknya menuntut mata kita untuk “melek”, melihat noda-noda bandel pada sistem pemerintahan ini.
Betapa banyak tindakan-tindakan di luar moral yang kita temukan pada Indonesia ini. Lantas apa yang diinginkan para pengerak/motor reformasi 1998 lalu?. Apakah hal di atas ini yang menjadi cita-cita reformasi?, jawabnya tentu tidak. Inilah yang kemudian mendorong beberapa rakyat untuk kembali pada eranya Presiden Suharto. Semoga Tuhan membuka mata hati seluruh elemen masyarakat bangsa ini, untuk mewujudkan cita-cita reformasi yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar