Kamis, 26 Januari 2012

Menyoal Mentalitas Wakil Rakyat


Oleh. Shodiq Adi Winarko (Kader HMI KOMFUF)

            Hingga kini, harapan menjadi bangsa yang bersih dan adil masih terus diusahakan. Namun ternyata, usaha itu seringkali diwarnai dengan praktik-praktik prakmatis individual. Wakil rakyat, misalnya, yang berorientasi meraih jabatannya bukan karena ideologis kerakyatan, namun lebih sebagai mata pencarian dan kekuasaan yang berorientasi pada diri pribadi atau pun kelompok.
            Tak heran jika penilaian publik terhadap kiprah anggota DPR saat ini senantiasa menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Berbagai nada ketidakpuasan dapat terekam dari sikap warga sipil yang menjadi responden para anggota DPR. Sebanyak 60 persen responden masih menyuarakan ketidakpuasan meraka dan hanya 26 persen yang puas.
            Lalu, dimanakah letak eksistensi wakil rakyat itu? Apa memang mereka dipilih hanya untuk mencari keuntungan sepihak? Padahal berbagai macam wacana menyebutkan bahwa peran dan fungsi mereka adalah sebagai katalisator aspirasi rakyat, dimana rakyat lah yang mempunyai kedaulatan tertinggi di negara demokrasi seperti Indonesia.
Memaknai Pancasila
            Kekuasaan dapat menjerumuskan siapa saja ke dalam lubang kenistaan. Dengannya, ia akan dibuat lalai dari berbagai janji serta peran aktifnya sebagai seorang wakil rakyat yang berkuasa.
            Ini lah posisi seseorang saat dirinya terlalu didominasi oleh kenyataan, namun membelakangi ideologi kebenaran, dalam hal ini pancasila. Saat ideologi tersebut tidak mampu mengimbangi perubahan yang cepat dalam dunia realita, maka para wakil rakyat itu pun terancam akan kehilangan ideologi pancasila mereka.
            Selanjutnya, penulis namakan keadaan seperti di atas sebagai kesenjangan ideologi. Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, keadaan semacam itu adalah sebuah ruang politik bangsa yang dipenuhi aroma ketidakpercayaan. Sistem demokrasi keterwakilan tak mulus karena ada ”ruang hampa” antara yang diberi amanah dan pemberi amanah. Hal ini pula lah yang mengantarkan para wakil rakyat itu kepada dekadensi moral seperti yang sering disorot banyak publik.
            Maka, merujuk kepada istilah Abdurrahman Wahid, “ketegangan kreative” sangat dibutuhkan untuk mengatasi dekadensi moral para wakil rakyat itu. Maksudnya, pemaknaan akan nilai-nilai pancasila perlu dikembangkan lebih dalam lagi, sehingga pengaruhnya dapat dirasakan secara maksimal oleh para wakil rakyat. Jangan sampai nilai-nilai pancasila berhenti untuk dikaji, apalagi mengalami pemaknaan yang salah. Berbahaya.
            Ada 3 hal yang dinilai salah dalam memaknai pancasila. Pertama, saat nilai-nilai pancasila dimaknai secara otoritatif. Sang penguasa negeri akan ketagihan dengan otoritasnya memaknai pancasila. Ia akan memaksakan khalayak untuk menerima tafsiran pancasila menurut versinya. Hal ini tentu tidak sepadan dengan perkataan Aristoteles, seorang filosofis Yunani, kedaulatan penguasa diperuntukkan untuk semua pihak, bukan perseorangan.
            Kedua, apabila pemaknaan pancasila terlalu bebas dan terbuka. Terlebih lagi jika diwarnai dengan sikap iri hati antar setiap golongan masyarakat, maka yang terjadi selanjutnya, pengklaiman benar dan salah oleh setiap golongan. Ini lah awal mula timbulnya anarkisme, sikap saling curiga, juga ketidakpercayaan publik terhadap wakil rakyat.
            Ketiga, ketakutan yang sangat untuk menafsirkan nilai-nilai pancasila agar relevan dengan kehidupan nyata. Banyak sekali kalangan yang menakuti praktik ini, tidak terkecuali para wakil rakyat kita. Akibatnya, pemaknaan nilai-nilai pancasila terasa dogma. Dogmatisasi ini lah yang mengantarkan para wakil rakyat itu ke wilayah prakmatisme yang mendalam.
            Lihat saja kasus yang marak terjadi di era kontemporer ini, terkait mentalitas para wakil rakyat. Berbagai macam golongan masyarakat mengecam keras tindakan para wakil rakyatnya yang dikecam salah. Mulai dari rencana pembangunan gedung baru, pembelian mobil mewah, perbaikan pagar istana negara, hingga berbagai kasus suap, korupsi, dan nepotisme yang mewarnai bangsa ini. Ditambah lagi tradisi hilangnya sifat malu yang melanda para wakil rakyat kita. Padahal, dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat sempat dibuat tersenyum oleh kualitas mereka.
            Coba bayangkan, mekanisme pemilihan para wakil rakyat pasca masa reformasi saja sudah melalui pemilu multipartai. Sehingga menghasilkan anggota-anggota baru yang terseleksi secara lebih demokratis dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. Dengan demikian, rakyat Indonesia telah dibuat berharap kepada DPR bahwa lembaga ini kelak akan dapat memperbaiki diri dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
            Harapan yang ditanamkan oleh rakyat tidak semata-mata semu, namun telah diperhitungkan secara matang. Selain dari aspek perekrutan yang relatif lebih demokratis dibandingkan dengan periode-periode DPR sebelumnya, komposisi keanggotaan DPR hasil reformasi ini juga memiliki keunggulan, baik dari segi pendidikan, usia  maupun latar belakang profesi. Dari segi pendidikan formal, anggota DPR periode 1992-1997 yang memiliki jenjang pendidikan tinggi (lulusan perguruan tinggi) sekitar 73 persen, anggota periode 1999-2004 sekitar 83 persen.
            Juga dari segi usia bisa dikatakan, anggota DPR era reformasi (1999-2004) lebih banyak didominasi oleh kalangan muda dan produktif. Proporsi ini bisa dilihat dari persebaran anggota DPR periode 1999-2004 yang berusia 50 tahun ke atas hanya 57,4 persen, sementara anggota DPR periode 1992-1997 mencapai 63,3 persen.
            Sementara itu, dari segi pekerjaan, 69,9 anggota DPR hasil reformasi berkecimpung dalam dunia swasta (yang berasal dari wirausaha, profesional, dan karyawan swasta), sedangkan anggota DPR periode sebelumnya 39,5 persen merupakan muka lama, swasta 40,4 persen, dan PNS 12,5 persen.    Dengan komposisi itu bisa dikatakan DPR format reformasi sangat berpotensi besar untuk mewakili kalangan masyarakat yang lebih luas.
            Tapi ternyata, beda dulu, beda sekarang. Banyaknya politisi muda yang dikecam buruk oleh publik ikut menciderai citra wakil rakyat di mata publik. Tak ayal jika akhir-akhir ini, hampir semua media massa menyoroti buruknya kinerja para wakil rakyat. Demi perbaikan, tak salah jika mereka meneladani ajaran Aristoteles, “koinonia.”
            Koinoia berarti upaya menjalin hubungan antara seorang penguasa dengan rakyatnya berlandaskan kasih sayang, layaknya suami dan isteri, dan bukan seperti tuan dan budak. Jika sudah demikian, akan tercipta hubungan harmonis, sifat malu, tanggung jawab, dan kesediaan para wakil rakyat itu untuk mengabdi kepada bangsa dan negaranya secara total, serta hilang lah prakmatisme. Inilah harapan rakyat Indonesia pada umumnya.
            Terakhir, nantinya perubahan dan pergeseran pasti ada, namun harus tetap mengarah pada membaiknya perhatian kepada kepentingan rakyat. Jangan sampai perubahan yang terjadi adalah perubahan yang berujung kepentingan sepihak. Itu salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar