Oleh. Shodiq Adi Winarko (Kader HMI KOMFUF)
Hingga kini, harapan menjadi bangsa yang bersih dan adil masih
terus diusahakan. Namun ternyata, usaha itu seringkali diwarnai dengan
praktik-praktik prakmatis individual. Wakil rakyat, misalnya, yang berorientasi
meraih jabatannya bukan karena ideologis kerakyatan, namun lebih sebagai mata
pencarian dan kekuasaan yang berorientasi pada diri pribadi atau pun kelompok.
Tak heran jika penilaian publik
terhadap kiprah anggota DPR saat ini senantiasa menunjukkan hasil yang kurang
memuaskan. Berbagai nada ketidakpuasan dapat terekam dari sikap warga sipil
yang menjadi responden para anggota DPR. Sebanyak 60 persen responden masih
menyuarakan ketidakpuasan meraka dan hanya 26 persen yang puas.
Lalu, dimanakah letak eksistensi
wakil rakyat itu? Apa memang mereka dipilih hanya untuk mencari keuntungan
sepihak? Padahal berbagai macam wacana menyebutkan bahwa peran dan fungsi
mereka adalah sebagai katalisator aspirasi rakyat, dimana rakyat lah yang
mempunyai kedaulatan tertinggi di negara demokrasi seperti Indonesia.
Memaknai Pancasila
Kekuasaan dapat menjerumuskan siapa saja ke dalam lubang kenistaan.
Dengannya, ia akan dibuat lalai dari berbagai janji serta peran aktifnya
sebagai seorang wakil rakyat yang berkuasa.
Ini lah posisi seseorang saat
dirinya terlalu didominasi oleh kenyataan, namun membelakangi ideologi
kebenaran, dalam hal ini pancasila. Saat ideologi tersebut tidak mampu mengimbangi
perubahan yang cepat dalam dunia realita, maka para wakil rakyat itu pun
terancam akan kehilangan ideologi pancasila mereka.
Selanjutnya, penulis namakan keadaan
seperti di atas sebagai kesenjangan ideologi. Meminjam istilah Yasraf Amir
Piliang, keadaan semacam itu adalah sebuah ruang politik bangsa yang dipenuhi aroma
ketidakpercayaan. Sistem demokrasi keterwakilan tak mulus karena ada ”ruang
hampa” antara yang diberi amanah dan pemberi amanah. Hal ini pula lah yang mengantarkan para wakil rakyat itu kepada
dekadensi moral seperti yang sering disorot banyak publik.
Maka, merujuk kepada istilah
Abdurrahman Wahid, “ketegangan kreative” sangat dibutuhkan untuk mengatasi
dekadensi moral para wakil rakyat itu. Maksudnya, pemaknaan akan nilai-nilai
pancasila perlu dikembangkan lebih dalam lagi, sehingga pengaruhnya dapat dirasakan
secara maksimal oleh para wakil rakyat. Jangan sampai nilai-nilai pancasila
berhenti untuk dikaji, apalagi mengalami pemaknaan yang salah. Berbahaya.
Ada 3 hal yang dinilai salah dalam memaknai
pancasila. Pertama, saat nilai-nilai pancasila dimaknai secara otoritatif. Sang
penguasa negeri akan ketagihan dengan otoritasnya memaknai pancasila. Ia akan
memaksakan khalayak untuk menerima tafsiran pancasila menurut versinya. Hal ini
tentu tidak sepadan dengan perkataan Aristoteles, seorang filosofis Yunani,
kedaulatan penguasa diperuntukkan untuk semua pihak, bukan perseorangan.
Kedua, apabila pemaknaan pancasila
terlalu bebas dan terbuka. Terlebih lagi jika diwarnai dengan sikap iri hati antar
setiap golongan masyarakat, maka yang terjadi selanjutnya, pengklaiman benar
dan salah oleh setiap golongan. Ini lah awal mula timbulnya anarkisme, sikap
saling curiga, juga ketidakpercayaan publik terhadap wakil rakyat.
Ketiga, ketakutan yang sangat untuk
menafsirkan nilai-nilai pancasila agar relevan dengan kehidupan nyata. Banyak
sekali kalangan yang menakuti praktik ini, tidak terkecuali para wakil rakyat
kita. Akibatnya, pemaknaan nilai-nilai pancasila terasa dogma. Dogmatisasi ini lah
yang mengantarkan para wakil rakyat itu ke wilayah prakmatisme yang mendalam.
Lihat saja kasus yang marak terjadi
di era kontemporer ini, terkait mentalitas para wakil rakyat. Berbagai macam
golongan masyarakat mengecam keras tindakan para wakil rakyatnya yang dikecam
salah. Mulai dari rencana pembangunan gedung baru, pembelian mobil mewah,
perbaikan pagar istana negara, hingga berbagai kasus suap, korupsi, dan
nepotisme yang mewarnai bangsa ini. Ditambah lagi tradisi hilangnya sifat malu
yang melanda para wakil rakyat kita. Padahal, dalam perjalanan sejarahnya,
masyarakat sempat dibuat tersenyum oleh kualitas mereka.
Coba
bayangkan, mekanisme pemilihan para wakil rakyat pasca masa reformasi saja
sudah melalui pemilu multipartai. Sehingga menghasilkan anggota-anggota baru
yang terseleksi secara lebih demokratis dibandingkan dengan pada masa Orde
Baru. Dengan demikian, rakyat Indonesia telah dibuat berharap kepada DPR bahwa
lembaga ini kelak akan dapat memperbaiki diri dalam menjalankan
fungsi-fungsinya.
Harapan
yang ditanamkan oleh rakyat tidak semata-mata semu, namun telah diperhitungkan
secara matang. Selain dari aspek perekrutan yang relatif lebih demokratis
dibandingkan dengan periode-periode DPR sebelumnya, komposisi keanggotaan DPR
hasil reformasi ini juga memiliki keunggulan, baik dari segi pendidikan, usia maupun latar belakang profesi. Dari segi pendidikan
formal, anggota DPR periode 1992-1997 yang memiliki jenjang pendidikan tinggi
(lulusan perguruan tinggi) sekitar 73 persen, anggota periode 1999-2004 sekitar
83 persen.
Juga
dari segi usia bisa dikatakan, anggota DPR era reformasi (1999-2004) lebih
banyak didominasi oleh kalangan muda dan produktif. Proporsi ini bisa dilihat
dari persebaran anggota DPR periode 1999-2004 yang berusia 50 tahun ke atas
hanya 57,4 persen, sementara anggota DPR periode 1992-1997 mencapai 63,3
persen.
Sementara
itu, dari segi pekerjaan, 69,9 anggota DPR hasil reformasi berkecimpung dalam
dunia swasta (yang berasal dari wirausaha, profesional, dan karyawan swasta),
sedangkan anggota DPR periode sebelumnya 39,5 persen merupakan muka lama,
swasta 40,4 persen, dan PNS 12,5 persen. Dengan
komposisi itu bisa dikatakan DPR format reformasi sangat berpotensi besar untuk
mewakili kalangan masyarakat yang lebih luas.
Tapi
ternyata, beda dulu, beda sekarang. Banyaknya politisi muda yang dikecam buruk
oleh publik ikut menciderai citra wakil rakyat di mata publik. Tak ayal jika
akhir-akhir ini, hampir semua media massa menyoroti buruknya kinerja para wakil
rakyat. Demi perbaikan, tak salah jika mereka meneladani ajaran Aristoteles, “koinonia.”
Koinoia
berarti upaya menjalin hubungan antara seorang penguasa dengan rakyatnya
berlandaskan kasih sayang, layaknya suami dan isteri, dan bukan seperti tuan
dan budak. Jika sudah demikian, akan tercipta hubungan harmonis, sifat malu,
tanggung jawab, dan kesediaan para wakil rakyat itu untuk mengabdi kepada
bangsa dan negaranya secara total, serta hilang lah prakmatisme. Inilah harapan
rakyat Indonesia pada umumnya.
Terakhir, nantinya perubahan dan pergeseran pasti ada,
namun harus tetap mengarah pada membaiknya perhatian kepada kepentingan rakyat.
Jangan sampai perubahan
yang terjadi adalah perubahan yang berujung kepentingan sepihak. Itu
salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar